METODOLOGI
STUDI ISLAM
”Islam Sebagai Pengetahuan Ilmiah”
KELOMPOK:
7
JUSMANIAR : 140101014
SAHRIANI : 140101013
INSITUT
AGAMA ISLAM (IAIM) MUHAMMADIYAH
SINJAI
KATA PENGANTAR
Puji syukur
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua yang berupa ilmu dan amal. Dan berkat
Rahmat dan Hidayah-Nya pula, penulis dapat menyelesaikan makalah tentang Islam sebagai
Pengetahuan Ilmiah
Kami menyadari
bahwa makalah ini masih terdapat banyak terdapat banyak kekurangan. Akhirnya,
kritik, saran, dan masukan yang membangun sangat kami butuhkan untuk dijadikan
pedoman dalam penulisan ke arah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
Sinjai, 10 maret 2017
Kelompok 7
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada
dasarnya pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui manusia, baik
pengetahuan tersebut merupakan kesimpulan yang benar maupun pengetahuan dengan
kesimpulan yang salah (keliru). Pada bagian terdahulu misalnya, telah
dipaparkan perkembangan pengetahuan manusia dari taraf yang paling rendah –
bahkan keliru dalam pandangan pengetahuan masyarakat modern – hingga
pengetahuan ilmiah yang sangat mendukung kelangsungan hidup umat manusia. Oleh
karenanya pengetahuan bisa saja salah, akan tetapi pengetahuan yang hakiki
sejatinya merupakan pengetahuan yang benar.
Ilmu
pengetahuan pada prinsipnya merupakan sebuah tesisyang diuji
dengan antitesis sehingga menghasilkan pengetahuan yang
baru (sintesis). Hail pengetahuan baru tersebut (sintesis) akan menjadi sebuah tesis yang baru pula sehingga akan diuji kembali
dengan antitesis yang baru dan akan melahirkan
pengetahuan yang baru (sintesis).
Pandangan Aristoteles tentang keingintahuan manusia
dan pandangan Sokrates yang menganggap bahwa ketidaktahuan merupakan kenyataan
kodrati manusia, sesungguhnya bukan merupakan pandangan yang secara essensial
harus dipertentangkan satu sama lain. Langkah pertama menuju pengetahuan yang
dibayangkan Aristoteles sejatinya merupakan kesadaran Socratik bahwa manusia
tahu bahwa ia tidak tahu, sehingga ada keinginan untuk tahu dan keinginan
tersebut dapat diwujudkan. Titik temu yang dapat ditarik dari keduanya adalah
eksistensi pengetahuan sebagai bagian penting yang pasti ada pada diri manusia.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian pengetahuan, Ilmu, dan
Filsafat?
2. Apa
perbedaan Pengetahuan, Ilmu, dan Filsafat?
3. Seperti
apa mtode Ilmiah dan struktur Ilmu?
4. Bagaimana
klasifikasi ilmu?
5. Bagaimana
pendekatan keilmuan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Arti dan Perbedaan Antara
Pengetahuan, Ilmu dan Filsafat
1.
Pengetahuan
Pengetahuan itu sendiri pada garis
besarnya dibagi menjadi dua, yang pertama disebut dengan pengetahuan (ﺤﺿﺭﻯ)
hudury atau Knowledge by Present dan yang kedua adalah pengetahuan (ﺍﺻﻭﻟﻰ)ushuly
atau Knowledge by Correspondence.
Knowledge by Present artinya adalah
pengetahuan yang diperoleh secara langsung dan tidak memerlukan landasan teori
apapun. Contohnya adalah pengetahuan tentang rasa lapar. Rasa lapar diketahui
selalu bersamaan dengan rasa lapar itu sendiri, pengetahuan ini tidak
membutuhkan pengetahuan luar. Untuk mengetahui rasa lapar kita tidak memerlukan
penjelasan dan pengetahuan tentang rasa lapar dari orang lain dan ataupun dari
buku-buku teori. Sedangkan yang Knowledge by Correspondence adalah sebaliknya,
pada knowledge by correspondence pengetahuan itu diperoleh harus melalui
perantaran semisal melalui perantaran indra dan lain-lain. Tentang pengetahuan
knowledge by correspondence ini sendiri sebenarnya masih bisa dibagi menjadi
dua bagian lagi, yang pertama disebut dengan pengetahuan rasional dan yang
kedua disebut dengan pengetahuan empiris.
Pengetahuan rasional, contohnya adalah
pengetahuan tentang matematika, politik, filsafat dan lainlain. Sedangkan yang
disebut dengan pengetahuan emphiris contohnya adalah pengetahuan tentang
biologi, kimia, fisika dan lain-lain.
Perlu untuk dicatat bahwa, pada tahapan
tertentu bisa saja sebuah pengtahuan yang tadinya rasional berubah menjadi
emphiris dan sebaliknya yang emphiris bisa dilihat dengan pendekatan rasional.
Alkisah bertanyalah
seorang awan kepada ahli filsafat yang arif bijaksana, “Coba sebutkan kepada
saya berapa jenis manusia yag terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan
pengetahuannya!”. Filsuf itu menarik napas panjang dan berpantun:
Ada orang yang tahu di tahunya
Ada orang yang tahu di tidak tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tidak tahunya.
“Bagaimanakah
caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?” sambung orang awan itu;
penuh hasrat dalam ketidaktahuannya.
“Mudah saja,” jawab
Filsuf itu, “Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak
tahu.”
Dengan demikian,
pengetahuan yang diperoleh manusia benar-benar ada ketika ia mengetahui objek
yang ingin diketahui. Pengetahuan biasa umumnya tidak mempersoalkan
hal ini, apakah manusia tahu bahwa ia tahu, atau justru tidak tahu bahwa ia
tidak tahu.
2.
Ilmu
Istilah “Ilmu” ekuivalen dengan science,
dalam bahasa inggris dan Prancis Wissenschaft (Jerman) Wetenschap (Belanda),
berarti “Tahu”. Istilah “Ilmu” sendiri
berasal dari Bahasa Arab ‘alima’ yang juga berarti “Tahu”. Jadi, secara
etimologi ilmu berarti pengetahuan. Namun secara Terminologi terdapat perbedaan
antara definisi yang dikemukakan oleh para tokoh ilmuwan pada umumnya, dengan
definisi yang dikemukakan oleh ilmuwan Islam.
Anshari (1985: 47-49) mengutip beberapa
definisi ilmu/sciece yang dikemukakan oleh para ahli. Misalnya Kari Pearson
dalam bukunya Grammar Of Science , merumuskan: “Science is the
complete and consistent description of the facts of experience in the simplest
possible terms” (Ilmu pengetahuan ialah lukisan keterangan yang lengkap dan
konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana /sedikit
mungkin). Baiquni, merumuskan: “Science merupakan general concensus dari
masyarakat yang terdiri atas para scientist”, dan masih banyak lagi definisi
ilmu yang dikemukakan oleh para ahli.
Dari keterangan-keterangan para ahli
tersebut, ilmu pengetahuan adalah semacam pengetahuan yang mempunyai cirri,
tanda, dan syarat tertentu, yaitu: sistematik, rasional, empiris, umum dan
kumulatif (bersusun timbun). Dengan kata lain, ia merupakan pemahaman manusia
yang disusun suatu system mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian,
hukum-hukum tentang hal-ihwal yang diselidiki, yang diuji secara empiris, riset
dan eksperimental. Ia merupakan pengetahuan sistenatis dan taat asas tentang
suatu objek berupa gejala alam, social dan budaya yang dapat diamati
(observable) dan ukur (measurable).
Dengan demikian dapat disimpulkan ilmu
adalah suatu pengetahuan yang menggunakan metode atau cara-cara diamping
sistematika sehingga dapat sangat memungkinkan untuk mendapatkan kebenaran.
3.
Filsafat
Filasafat berasal dari bahasa Arab (ﻔﻟﺳﻓﻪ)
orang arab sendiri mengambilnya dari bahasa yunani : "Philosophie".
Dalam bahsa yunani philosophie itu merupakan kata majemuk yang terdiri dari
"Philo" dan "sopia", kata Prof. I.R. Pujawiyatna
"Philo artinya cinta dalam arti seluas-luasnya. Sofia artinya
kebijaksanaan".
Kata filsafat itu lebih jauh dijelaskan
oleh Drs. Amsal Bukhari, MA. Belia mengambil ulasan Al Farabi menyatakan bahwa,
"filsafat adalah pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan
menyelidiki hakikat sebenarnya".
Apa yang dipaparkan oleh Al Farabi
dicontohkan tentang kedudukan manusia dalam realita jagat raya ini. Ini harus
dikaji dengan pemikiran yang mendalam, luas, universal, radikal, sistematis,
kritis, deskritif, analisis, evaluatif dan spekulatif.
Dan dari keterangan tersebut dapat
disimpulkan bahwa filsafat adalah ilmu yang menerangkan dan menggunakan metode
dan sistem guna mendapatkan apa yang ingin diketahui secara mendalam dan
mengakar melebihi apa yang didapatkan oleh ilmu pengetahuan.
Selain pengetahuan
biasa dan pengetahuan ilmiah (sains) yang telah dipaparkan di atas, filsafat
juga merupakan bagian penting yang turut dibicarakan dalam ranah pengetahuan,
sebab filsafat merupakan bagian dari pengetahuan itu sendiri.
4.
Perbedaan
Filsafat, Ilmu dan Pengetahuan
Sebagai kesimpulan ialah perbedaan
antara pengetahuan, ilmu dan filsafat
adalah bahwa pengetahuan itu berada pada tahap pertama yaitu sekedar mengetahui
secara umum dan tidak sampai mengakar, sedangkan ilmu sudah sampai pada tahapan
yang ke dua yaitu pengenalan secara rasio, artinya keberadaan manusia (manusia
sebagai objek) dengan segala sifat-sifatnya sudah dianalisa secara akal,
sehingga tidak bertanya-tanya dan ragu-ragu. Dan perbedaan ilmu dan filsafat
adalah filsafat objeknya universal atau berifat umum sementara ilmu bersifat
khusus.
Kemudian penjelajah ilmu akan puas
dengan teori-teorinya, sedangkan filasafat terus berenag dan menyelam pada uji
cobadan eksperimen, seperti halnya yang dilakukan Ibrahim ketika ingin
mengetahui cara menghidupkan yang mati. (QS. Al-Baqarah: 260)
Artinya : "Dan (Ingatlah) ketika
Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau
menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu
?" Ibrahim menjawab: "Aku Telah meyakinkannya, akan tetapi agar
hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian)
ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman):
"Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu,
Kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera."
dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Filsafat titik tekan kajiannya adalah
ontologi sementara Ilmu Pengetahuan (Science) titik tekan kajiannya adalah Epitimologi
sehingga kalau kita buat dalam sebuah bagan maka bentuknya akan menjadi seperti
ini : Ontologi berbicara tentang benda atau objeknya, Objek ontology situ
sendiri ada dua, yang pertama disebut sebagai objek materiphisik dan yang kedua
disebut sebagai objek materi non phisik. Sedangkan Epistimologi berbicara
tentang subjeknya, yaitu berbicara tentang si orang yang menilai atau yang
mempelajari atau yang mengamati si objek ontology melalui indra, akal dan hati.
Jadi bisa dikatakan dengan ringkas bahwa
pengetahuan itu melekat didiri si pengamat atau subjek sehingga jika si subjek
berbeda tafsir terhadap objek yang sama maka yang perlu diperiksa adalah
seberapa jauh pengetahuan si subjek terhadap objek tersebut.
Kenapa demikian? Karena pada hakekatnya yang
mempunyai pengetahuan adalah si subjek sementara objek material yang diamati
atau yang dijadikan penelitian itu sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan
keberadaannya juga tidak akan berubah hanya karena kesalahan tafsir dari subjek
yang mengamatinya.
B.
Metode
Ilmiah dan Stuktur Pengetahuan Ilmiah
1.
Metode
Ilmiah
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
dikemukakan bahwa metode berarti:
a. cara
yang teratur berdasarkan pemikiran yang matang untuk mencapai maksud (dalam
ilmu pengetahuan dan sebagainya); dan
b. cara
kerja yang teratur dan bersistem untuk dapat melaksanakan suatu kegiatan dengan
mudah guna mencapai maksud yang ditentukan.[1]
Sedangkan ilmiah berarti secara ilmu pengetahuan atau sesuai dengan syarat atau
hukum ilmu pengetahuan.[2]
Menurut Jujun S. Suriasumantri, metode
ilmiah sering dikatakan sebagai "prosedur" untuk mendapatkan
pengetahuan yang disebut ilmu. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat
metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu, sebab ilmu merupakan
pengetahuan yang cara mendapatkannya pun harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu,
tercantum dalam apa yang disebut dengan metode ilmiah.
Definisi yang hampir senada juga
diungkapkan Asep Hermawan, metode ilmiah merupakan penggabungan antara
rasionalisme dan empirisme. Metode ilmiah merupakan cara berpikir dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu atau pengetahuan ilmiah (science).
Dapat dikatakan bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan metode
ilmiah. Dalam hal ini, tidak semua pengetahuan(knowledge) merupakan ilmu
(science). Metode ilmiah dapat pula diartikan sebagai cara-cara atau prosedur
yang digunakan untuk menganalisis fakta-fakta empirik dalam menguji
penyataan-pernytaan empirik[3]
Menurut The Liang Gie, metode ilmiah
merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikir, pola kerja, tata
langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau
memperkembangkan yang ada.[4]
Sebagaimana telah diketahui, berpikir
adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Metode ilmiah merupakan
ekspresi mengenai cara bekerja pikiran. Dengan cara bekerja ini, maka
pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik-karakteristik
tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji,
yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang
bisa diandalkan. Dalam hal ini, maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara
berpikir deduktif dengan cara berpikir induktif dalam membangun tubuh
pengetahuannya.[5]
Dalam menyusun metode ilmiah dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu:
1) Manusia
mendekati apa yang merupakan objek ilmiah berdasarkan pengamatan dan penelitian
yang disebut empiris (pendekatan induktif);
2) Manusia
semakin mengerti apa yang merupakan susunan objek yang sedang dipelajari
sedalam-dalamnya, sehingga didapat pengertian dari dalam ilmu itu (pendekatan
deduktif).[6]
Berpikir deduktif memberikan sifat yang
rasional kepada pengetahuan ilmiah, dan bersifat konsisten dengan pengetahuan
yang telah dikumpulkan sebelumnya. Secara sistematik dan kumulatif, pengetahuan
ilmiah disusun "setahap demi setahap", dengan menyusun
argumentasi-argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang
telah ada. Dengan demikian, maka ilmu merupakan tubuh pengetahuan yang tersusun
dan ter-organisasi-kan dengan baik, sebab penemuan yang tidak teratur dapat
diibaratkan sebagai "rumah atau batu bata yang cerai-berai". Secara
konsisten dan koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional
kepada objek yang berada dalam fokus penelaahan.[7]
Penjelasan yang bersifat rasional ini,
dengan kriteria kebenaran koherensitidak memberikan kesimpulan yang bersifat
final, sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme yang besifat pluralistik, maka dimungkinkan
tersusunnya bebagai penjelasan terhadap suatu obyek pemikiran tertentu.
Meskipun argumentasi secara rasional didasarkan kepada premis-premis ilmiah
yang telah teruji kebenarannya, namun bisa saja pilihan yang berbeda dari
sejumlah premis ilmiah yang tersedia, yang digunakan dalam penyusunan
argumentasi. Oleh sebab itu, maka digunakan pula cara berpikir induktif yang
berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi.
Teori korespondensi, menyebutkan bahwa
suatu pernyataan dapat dianggap benar jika materi yang terkandung dalam
pernyataan itu sesuai (berkorespondensi) dengan obyek faktual yang dituju oleh
pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar bila
terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Misalnya
seseorang menyatakan bahwa "Salju itu berwarna putih", maka
pernyataan itu adalah benar jika terdapat kenyataan yang mendukung isi
pernyataan tersebut, yakni bahwa dalam daerah pengalaman kita memang dapat
diuji bahwa salju itu benar-benar berwarna putih.Bagi mereka yang sudah biasa
melihat salju, maka pengujian semacam ini tidaklah terlalu berarti. Namun bagi
mereka yang belum pernah melihat salju, maka pengujian secara empiris mempunyai
suatu makna yang lain (berbeda). Hal ini akan memberi arti yang lebih lagi jika
seandainya seseorang menyatakan, misalnya, bahwa "terdapat partikel X
dalam atom yang sebelumnya belum pernah diketahui manusia". Pengujian
secara empiris dan pernyataan semacam ini jelas bersifat imperatif, sebab
bagaimana kita semua dapat mempercayai kebenaran pernyataan itu, bila tak ada
seorang pun yang telah melihat partikel X itu sebelumnya?.
Kenyataan semacam ini, sering terjadi
dalam pengkajian masalah keilmuan, yakni bila kita dihadapkan dengan
pernyataan-pernyataan yang secara empiris belum kita kenali. Dan justru di
sinilah sebenarnya esensi dari penemuan ilmiah, yakni bahwa kita mengetahui
sesuatu yang belum pernah kita ketahui dalam pengkajian ilmiah sebagai
kesimpulan dalam penalaran deduktif. Penemuan "yang satu" akan
mengakibatkan penemuan "yang lain" dengan penarikan kesimpulan secara
deduktif. Penarikan kesimpulan seperti ini, sering memberikan kita kejutan yang
menyenangkan, sebab memberikan kepada kita pengetahuan yang belum kita kenal
sebelumnya.
Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie
Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Tentu saja hal ini membawa
kita kepada pertanyaan lain: Mengapa manusia mulai mengamati sesuatu? Kalau
kita telaah lebih lanjut, ternyata bahwa kita mulai mengamati obyek tertentu
kalau kita mempunyai perhatian tertentu terhadap obyek tersebut. Oleh John
Dewey, perhatian tersebut dinamakan sebagai suatu masalah atau kesulitan yang
dirasakan bila kita menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan
pertanyaan. Dan pertanyaan tersebut timbul disebabkan oleh adanya kontak
manusia dengan dunia empiris, yang menimbulkan berbagai ragam
permasalahan.Dapat kita simpulkan bahwa karena ada masalah-lah maka proses
kegiatan berpikir dimulai. Dan karena masalah masalah ini berasal dari dunia
empiris, maka proses berpikir tersebut diarahkan pada pengamatan obyek yang
bersangkutan, yang ber-eksistensi dalam dunia empiris pula.
Bahwa manusia mengahadapi masalah, atau
bahwa manusia menyadari adanya masalah dan bermaksud untuk memecahkannya, hal
ini bukanlah "sesuatu" yang baru sejak manusia berada di muka bumi
sejak dahoeloe kala. Namun dalam menghadapi masalah ini, maka manusia
memberikan "reaksi yang berbeda-beda", sesuai dengan perkembangan
cara berpikir mereka masing-masing.Seperti telah dibahas pada bagian terdahulu,
terdapat bermacam-macam sumber dan cara mendapatkan pengetahuan, sebagai
jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi manusia. Dilihat dari perkembangan
kebudayaannya, maka sikap manusia dalam menghadapi masalah dapat dibedakan
menurut ciri-ciri tertentu. Berdasarkan sikap manusia dalam menghadapi masalah
ini, maka Van Peursen membagi perkembangan kebudayaan menjadi tiga tahap, yakni
tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional.
Yang dimaksudkan dengan tahap mistis
adalah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan
gaib (ghaib) di sekitarnya.
Yang dimaksudkan dengan tahap ontologis
adalah sikap manusia yang tidak lagi merasakan dirinya terkepung oleh
kekuatan-kekuatan gaib (ghaib) dan bersikap mengambil jarak dari obyek di
sekitarnya, serta memulai melakukan penalaahan-penalaahan terhadap obyek
tersebut.
Yang dimaksudkan dengan tahap fungsional
adalah sikap manusia yang bukan saja merasa telah "terbebas dari
kepungan" kekuatan-kekuatan gaib (ghaib) dan mempunyai pengetahuan
berdasarkan penelaahan terhadap obyek-obyek di sekitar kehidupannya, namun
lebih dari itu dia mem-fungsional-kan pengetahuan tersebut bagi kepentingan
dirinya.
Tahap fungsional ini dibedakan dengan
tahap ontologis, sebab belum tentu bahwa pengetahuan yang didapatkan pada tahap
ontologis ini, dimana manusia "mengambil jarak" terhadap obyek di
sekitar kehidupan dan mulai menelaahnya, mempunyai manfaat (kegunaan) langsung
terhadap kehidupan manusia. Bisa saja manusia menguasai pengetahuan demi pengetahuan,
namun tidak mempunyai kegunaan fungsional dalam kehidupannya.
Ilmu mulai berkembang pada tahap
ontologis ini, manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu, yang
terlepas dari kekuasaan-kekuasaan dunia mistis, yang menguasai gejala-gejala
empiris. Dalam tahap ontologis ini, maka manusia mulai "mengambil
jarak" dari obyek di sekitarnya, tidak seperti apa yang terjadi dalam
dunia mistis, dimana semua obyek berada dalam kesemestaan yang bersifat difusi
dan tidak jelas batas-batasnya.
Manusia mulai memberi batas-batas yang
jelas kepada obyek kehidupan tertentu, yang terpisah dengan eksistensi manusia
sebagai yang mengamati dan menelaah obyek tersebut. Dalam menghadapi masalah
tertentu, maka dalam tahapontologis ini, manusia sudah mulai menentukan
batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang memungkinkan manusia dapat
mengenal wujud masalah itu, untuk kemudian ditalaah/dikaji dan dicairkan
pemecahan jawabannya.[8]
Menurut Mohammad Adib, secara garis
besar metode ilmiah ada dua macam, yaitu metode ilmiah yang bersifat umum dan
metode penyelidikan ilmiah.[9]
a. Metode
ilmiah yang bersifat umum
Metode ilmiah yang bersifat umum dibagi
menjadi dua, yaitu metode analitiko-sintesa dan metode nondeduksi. Metode
analitioko-sintesa merupakan gabungan dari metode analisis dan metode sintesa.
Metode nondeduksi merupakan gabungan dari metode deduksi dan metode induksi.
Apabila kita menggunakan metode
analisis, dalam babak terakhir kita memperoleh pengetahuan analitis.
Pengetahuan analitis itu ada dua macam, yaitu pengetahuan analitik apriori dan
pengetahuan analitik aposteriori.
Metode ilmiah di bagi 2 jenis, yaitu:
ü Metode
analisis ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek ilmiah tertentu dengan
jalan memilah-milahkan pengertian yang satu dengan penegrtian yang lainnya.
Pengetahuan analisis apriori misalnya, definisi segitiga mengatakan bahwa
segitika itu merupakan sautu bidang yang dibatasi oleh tiga garis lurus saling
beririsan yang membentuk sudut berjumlah 180 derajat. Pengetahuan analitis
aposteriori berarti bahwa kita dengan menerapkan metode analisis terhadap
sesuatu bahan yang terdapat di alam empiris atau dalam pengalaman sehari-hari
memperoleh sesuatu pengetahuan tertentu. Misalnya, setelah kita mengamati
sejumlah kursi yang ada, kemudian kita berusaha unutk menetukan apakah yang
dinamakan kursi itu? Definisnya misalnya, kursi adalah perabot kantor atau
rumah tangga yang khusus disediakan untuk tempat duduk. Pengetahuan yang
diperoleh dengan menerapkan metode sintesis dapat berupa pengetahuan sintesis
apriori dan pengetahuan sintesisi aposteriori.
ü Metode
sintesa ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan cara
menggabungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lainnya sehingga
menghasilkan sesuatu pengetahuan yang baru. Pengetahuan sinstesis apriori
misalnya, pengetahuan bahwa satu ditambah empat sama dengan lima. Aposteriori
menunjuk kepada hal-hal yang adanya berdasarkan atau terdapat melalui
pangalaman atau dapat dibuktikan dengan melakukan sesuatu tangkapan indrawi.
Pengetahuan sintetis aposterior itu
merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara menggabung-gabungkan
pengertian yang satu dengan yang lain menyangkut hal-hal yang terdapat alam
tangkapan indrawi atau yang adanya dalam pengalaman empiris.
b. Metode
ilmiah penyelidikan ilmiah
Metode penyelidikan ilmiah dapat dibagi
menjadi dua, yaitu metode penyelidikan yang berbentuk daur/metode siklus
empiris dan metode vertikal atau yang yang berbentuk garis lempang/metode
linier. Yang dinamakan siklus-empiris ialah suatu cara penanganan terhadap
sesuatu objek ilmiah tertentu yang biasanya bersifat empiris-kealaman dan
penerapannya terjadi di tempat yang tertutup.
Metode penyelidikan ilmiah yang berbentuk daur/metode siklus-empiris,
maka pengetahuan yang dapat dihasilkannya akan berupa hipotesa, teori, dan
hukum-hukum alam.
Kriteria metode ilmiah terdiri dari:
a) Berdasarkan
fakta atau kenyataan bukan berdasarkan pemikiran atau dugaan.
b) Bebas
dari prasangka, yaitu penggunaan fakta atau data dalam metode ilmiah hendaknya
berdasarkan bukti yang lengkap dan objektif, hindari pertimbangan subjektif.
c) Menggunakan
prinsip analisis. Fakta atau data yang diperoleh harus dicari sebab akibatnya
atau alasan-alasannya mampu dijelaskan dengan menggunakan prinsip analisis.
d) Menggunakan
hipotesis. Hipotesis adalah pernyataan sementara (sebab kebenarannya harus
dibuktikan) atas jawaban terhadap pernyataan atau masalah penelitian. Hipotesis
ini diperlukan untuk memandu jalan pikiran ke arah pencapaian tujuan penelitian
dan cara analisisnya.
e) Menggunakan
ukuran yang objektif. Ukuran yang dipakai harus objektif dan tidak boleh
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan subjektif.[10]
Pengetahuan yang diperoleh manusia
melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai metode sendiri dalam pengetahuan,
di antaranya adalah:
v Metode
induktif yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan- pernyataan hasil
observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih dalam suatu pernyataan
yang lebih umum (David Hume).
v Metode
deduktif yaitu suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah
lebih lanjut dalam suatu pernyataan yang runtut (Poper).
v Metode
positivisme adalah metode yang berpangkal dari apa yang telah diketahui., yang
dfaktual, yang positif (August Comte).
v Metode
kontemplatif mengatakan adanmya kekerbatasan indera dan akakl manusia untuk
memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda
seharusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi (Al
Ghazali).
v Metode
dialektis yaitu metode Tanya jawab (Socrates), metode dialektis adalah diskusi
logika (Plato).
Banyak metode yang dapat digunakan untuk
mencari kebenaran suatu ilmu. Metode ilmiah adalah penting bukan saja dalam
proses penemuan pengetahuan umum terlebih lagi dalam mengkomunikasikan penemuan
ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuan.[11]
Alur pikir yang tercakup dalam metode
ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap
dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses
logico-hypo-thetico-verifikasi pada dasarnya terdiri dari langkah langkah
tertentu seperti berikut ini.
a) Perumusan
masalah yang merupakan argumentasi yang menjelaskan objek empiris yang jelas
batasannya dan faktor yang terkait dapat diidentifikasi.
b) Penyusunan
kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang
menjelaskan hubungan yang mungkin
terdapat antara nernagai faktor yang saling terkait dan menbentuk
konstelasi permasalahan, yang disusun secara rasionil berdasarkan premis ilmiah
yang telah teruji kebenarannya.
c) Perumusan
hipotesis yang merupakan jawaban sementara terhadap pernyataan yang diajukan
yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
d) Pengujian
hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang
diajukan untuk memperlihatkan adanya fakta pendukung hipotesis.
e) Penarikan
Kesimpulan yang merupakan penilaian diterima atau tidaknya sebuah hipotesis.
Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan
ilmiah karena telah memenuhi persyaratan keilmuan, yaitu mempunyai kerangka
kejelasana yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya dan telah teruji
kebenarannya.
Keseluruhan langkah tersebut harus
ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Hubungan antara langkah
yang satu dengan yang lainnya tidak terikat secara statis melainkan bersifat
dinamis dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan
penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas.[12]
Menurut
The Liang Gie, unsur metode ilmiah terdiri dari:
·
Pola prosedural, yang terdiri dari
pengamatan, percobaan, pengukuran, survai, deduksi, induksi, analisis dan
lainnya;
·
Tata Langkah, yang terdiri dari
penentuan masalah, perumusan hipotsesis (bila perlu), pengumpulan data,
penurunan kesimpulan, dan pengujian hasil;
·
Berbagai tehnik, yang terdiri dari
daftar pernyaan, wawancara, perhitungan, pemanasan, dan lainnya;
·
Dan aneka alat, yang terdiri dari
timbangan, meteran, perapian, komputer dan lainnya.[13]
Dari uraian tersebut, tahapan dalam
kegiatan ilmiah, yaitu: Perumusan Masalah, Penyusunan kerangka berpikir,
Perumusan hipotesis, Pengujian hipotesis, dan Penarikan kesimpulan.
2. Struktur
Pengetahuan Ilmiah
Pengatahuan ilmiah atau ilmu adalah
pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah dan memenuhi syarat-syarat
keilmuan. Pengetahuan ilmiah diproses lewat serangkaian langkah- langkah
tertentu yang dilakukan dengan penuh kedisiplinan, karakteristik inilah membuat
ilmu dikonotasikan sebagai disiplin. Disiplin ilmu berkembang relatif lebih cepat bila
dibandingkan dengan pengatahuan- pengatahuan lainnya.
Pengatahuan ilmiah yang baru akan lahir
dan memperkaya khasanah ilmu yang ada, jika telah melakukan hipotesis secara
formal dan teruji kebenarannya. Jika sebuah pengetahuan ilmiah yang baru
tersebut benar, maka pernyataan yang terkandung dalam pengetahuan ini dapat
dipergunakan sebagai premis baru dalam kerangka pemikiran yang menghasilkan
pengetahuan- pengetahuan ilmiah baru pula. Pada dasarnya ilmu dibangun secara
bertahap dan sedikit demi sedikit sesuai kemampuan para ilmuan memberikan
sumbangan ilmunya. Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat
menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan
serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut bedasarkan penjelasan yang
ada. Secara garis besar terdapat 4 (empat) jenis pola penjelasan; Deduktif,
Probabilistik, Funsional/teologis, dan Genetik.[14]
Penjelasan keilmuan memungkinkan kita
meramalkan apa yang akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut kita bisa
melakukan upaya untuk mengontrol agar ramalan tersebut menjadi kenyataan atau
tidak. Jadi pengetahuan ilmiah pada hakikatnya mempunyai tiga fungsi, yakni
menjelaskan, meramalkan dan mengontrol.
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang
mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin
keilmuan. Tujuan akhir dari tiap disiplin keilmuan adalah mengembangkan sebuah
teori keilmuan yang bersifat utuh dan konsisten. Sebuah teori biasanya terdiri
dari hukum- hukum. Dalam teori ilmu ekonomi mikro misalnya kita mengenal hukum
permintaan dan penawaran. Hukum pada hakikatnya merupakan pernyataan yang
menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab
akibat. Secara mudah maka kita dapat mengatakan bahwa teori adalah pengetahuan
ilmiah yang memberikan penjelasan tentang “mengapa” suatu gejala-gejala terjadi
sedangkan hukum memberikan kemampuan kepada kita untuk meramalkan tentang “apa” yang mungkin terjadi. Pengetahuan
ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini merupakan “alat” yang dapat kita
pergunakan untuk mengontrol gejala alam.[15]
Pengertian teoritis dikaitkan dengan
gejala fisik yang dijelaskan oleh konsep yang dimaksud; artinya makin teoritis
sebuah konsep maka makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila dikaitkan
dengan gejala fisik yang tampak nyata. Makin tinggi keumuman sebuah konsep maka
makin “teoritis” konsep tersebut.
Pengetahuan yang diproses menurut metode
ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, dan dengan
demikian dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ada pun struktur pengetahuan
ilmiah sebagai berikut:
ü Teori
yang merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu
faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan.
ü Hukum
yang merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau
lebih dalam suatu kaitan sebab akibat.
ü Prinsip
yang dapat diartikan sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi
sekelompok gejala-gejala tertentu yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi.
ü Postulat
yang merupakan asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut
pembuktiannya.
Sedangkan menurut The Liang Gie,
struktur pengetahuan ilmiah mencakup lima kelompok unsur,sebagai berikut:
i.
Jenis-jenis sasaran (objek sebenarnya)
ii.
Bentuk-bentuk pernyataan
iii.
Ragam-ragam proposisi
iv.
Ciri-ciri pokok
v.
Pembagian sistematis
Pertama-pertama mengenai sasaran atau
objek pengetahuan ilmiah itu perlu diberikan penjelasan yang memadai. Setiap
cabang ilmu khusus mempunyai objek sebenarnya yang dapat dibedakan menjadi
objek material dan objek formal. Objek material adalah fenomena dunia yang
ditelaah oleh ilmu, sedang objek formal adalah pusat perhatian dalam penelaahan
ilmuwan terhadap fenomena itu. Penggabungan antara objek material dengan objek
formal sehingga merupakan pokok soal tertentu yang dibahas dalam pengetahuan
ilmiah merupakan objek yang sebenarnya dari cabang ilmu yang bersangkutan.
Objek material secara tak menentu dan dalam keseluruhannya menunjukkan pokok
soal suatu pengetahuan (terutama pengetahuan demonstratif) dalam hubungan
dengan proposisi- proposisi yang dapat dibuat tentangnya.[16]
Aneka fenomena yang ditelaah oleh segenap cabang ilmu khusus banyak
sekali, mencapai ribuan sejalan dengan bertambahnya cabang- cabang ilmu itu.
Suatu penggolongan yang sistematis dapat mengelompokkan segenap objek material
pengetahuan ilmiah menjadi enam jenis, sebagai berikut:Ide abstrak, Benda
fisik, Jasad hidup, Gejala rohani,
Peristiwa sosial, dan Proses tanda.
Suatu fenomena ditentukan oleh pusat
perhatian ilmuwan menjadi objek sebenarnya dari suatu cabang ilmu. Kumpulan
pernyataan yang memuat pengetahuan ilmiah dapat mempunyai empat bentuk:
a. Deskripsi:
merupakan kumpulan pernyataan bercorak deskriptif dengan memberikan pemerian
mengenai bentuk, susunan, peranan, dan hal-hal terperinci lainnya dari fenomena
yang bersangkutan.
b. Preskripsi:
Merupakan kumpulan pernyataan bercorak preskriptif dengan memberikan petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan
mengenai apa yang perlu berlangsung atau sebaiknya dilakukan dalam hubungannya
dengan objek sederhana itu. Bentuk in dapat dijumpai pada cabang-cabang ilmu
sosial, ilmu administrasi,dan lain-lain.
c. Eksposisi pola: Bentuk ini merangkum
pernyataan-pernyataan yang memaparkan pola-pola dalam sekumpulan sifat,
ciri, kecenderungan, atau proses lainnya
dari fenomena yang ditelaah.
d. Rekonstruksi Historis: Bentuk ini merangkum
pernyataan-pernyataan yang berusaha menggambarkan atau menceritakan dengan
penjelasan atau alasan yang diperlukan pertumbuhan sesuatu hal pada masa lampau
yang jauh lebih baik secara alamiah atau
karena campur tangan manusia.[17]
Pada cabang-cabang ilmu lainnya yang
lebih dewasa, selain empat bentuk pernyataan tersebut terdapat pula
proposisi-proposisi yang dapat dibedakan menjadi tiga ragam, yaitu:
1) Asas
ilmiah: Suatu asas atau prinsip adalah sebuah proposisi yang mengandung
kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati. Sebuah prinsip dalam
ilmu sosial misalnya ialah prinsip gaji yang sama yang dapat dijadikan suatu
pedoman yang benar dalam pengangkatan
para pegawai dan adminitrasi penggajian.
2) Kaidah
ilmiah: Suatu kaidah atau hukum dalam pengetahuan ilmiah adalah sebuah
proposisi yang mengungkapkan keajegan atau hubungan tertib yang dapat diperiksa
kebenarannya diantara fenomena sehingga umumnya berlaku pula untuk berbagai
fenomena yang sejenis. Conohnya ialah hukum gaya berat yang terkenal dari
Newton dan Boyle dalam ilmu kimia bahwa volume suatu gas berubah secara
terbalik dengan tekanan bilamana suhu tetap dipertahankan sama.
3) Teori
Ilmiah: Suatu teori dalam scientific knowledge adalah sekumpulan proposisi yang
saling berkaitan secara logis untuk memberi penjelasan mengenai sejumlah
fenomena. Misalnya, mengenai teori Darwin tentang evolusi organisme hidup yang
menerangkan bahwa bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan primitif dalam
perkembangan secara evolusioner sepanjang masa.
Teori merupakan tujuan dasar atau tujuan
akhir dari ilmu. Teori tidak bisa dijadikan ciri pokok bagi ilmu seumumnya.
Ciri pokok pertama bagi setiap cabang ilmu khusus haruslah sistematisasi pada
pengetahuan ilmiah yang bersangkutan. Sistematisasi mengandung arti bahwa
pengetahuan ilmiah itu harus disusun menjadi semacam system yang memiliki
bagian-bagian yang penting dan hubungan-hubungan yang bermakna. Ciri
sistematisasi harus dilengkapi dengan cirri-ciri pokok selanjutnya, yaitu
keumuman (generality), rasionalitas, obyektivitas, kemampuan diperiksa
kebenarannya (verifiability), dan kemampuan menjadi milik umum (communality).
Ciri generality (umum) menunjuk pada
kualitas pengetahuan ilmiah untuk merangkung fenomena yang senantiasa makin
luas dengan penentuan konsep-konsep yang paling umum dalam pembahasan
sasarannya. Misalnya kalau ilmu politik akan menjelaskan tentang partai politik
, penjelasan yang memuaskan ialah apabila pembahasan bisa beralih dari suatu
partai politik tertentu dalam suatu negara khusus sampai pada semua partai
politik dalam negara itu, dan terus lebih umum lagi sampai mencapai partai
politik seumumnya disemua negara pada semua masa.
Ciri rasionalitas berarti bahwa ilmu
sebagai pengetahuan ilmiah bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi
kaidah-kaidah logika (barber). Batu penguji pengetahuan ilmiah ialah penalaran
yang betul dan perbincangan yang logis tanpa melibatkan factor-faktor
non-rasional seperti emosi sesaat dan kesukaan pribadi, dengan demikian ilmu
juga memiliki sifat obyektifitas.
Ciri verifiabilitas berarti bahwa
pengetahuan ilmiah harus dapat diperiksa kebenarannya, diselidiki kembali, atau
diuji ulang oleh setiap anggota lainnya dari masyarakat ilmuwan.
Kalau ciri objectivity menekankan ilmu
sebagai interpersonal knowledge (pengetahuan yang bersifat antar-perseorangan),
maka cirri pokok komunalitas menitikberatkan ilmu sebagai pengetahuan yang
menjadi milik umum. Ilmu bukanlah hanya pengetahuan yang telah diterbitkan,
melainkan pengetahuan tersebut setelah diuji secara objektif oleh para ilmuwan
akan diterima secara umum menjadi kesepakatan pendapat rasional.[18]
C. Klasifikasi
Ilmu
Ilmu dapat digolongkan menjadi :
1. Natural
Science (Ilmu Alam)
Ilmu alam
adalah ilmu yang berhubungan dengan gejala-gejala alam yang bersifat fisik,
konstan dan bisa diamati secara kasat mata (Mudjia). Secara harfiah ilmu alam
adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu dimana obyeknya
adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapan
pun dimana pun. Ilmu alam mempelajari aspek-aspek fisik & nonmanusia
tentang Bumi dan alam sekitarnya. Ilmu-ilmu alam membentuk landasan bagi ilmu
terapan, yang keduanya dibedakan dari ilmu sosial, humaniora, teologi, dan
seni.
Cabang-cabang ilmu alam :
(a).
Astronomi
|
(e).
Geologi
|
(b).
Biologi
|
(f).
Geografi
|
(c).
Ekologi
|
(g). Ilmu
bumi
|
(d).
Fisika
|
(h). Kimia
|
2. Social
Science (Ilmu Sosial)
Sebagaimana
diketahui ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora mengkaji tentang perilaku
manusia. Perilakunya dengan manusia lain baik secara pribadi maupun kolektif
dikaji oleh sosiologi, perilaku kejiwaannya oleh psikologi, perilaku
kebahasaannya oleh ilmu bahasa atau linguistik, perilakunya di masa lampau oleh
sejarah, perilakunya mendidik oleh ilmu pendidikan, perilaku yang terkait
dengan budaya atau nilai dan tradisi oleh antropologi, perilaku transaksinya
oleh ilmu ekonomi, perilakunya dalam mendominasi dan memengaruhi orang lain
oleh ilmu politik, perilakunya dengan tata aturan hidup oleh ilmu hukum dan
seterusnya (Mudjia).
Secara
harfiah Ilmu sosial adalah sekelompok disiplin akademis yang mempelajari
aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Ilmu ini
berbeda dengan seni dan humaniora karena menekankan penggunaan metode ilmiah
dalam mempelajari manusia, termasuk metoda kuantitatif dan kualitatif. Istilah
ini juga termasuk menggambarkan penelitian dengan cakupan yang luas dalam
berbagai lapangan meliputi perilaku dan interaksi manusia pada masa kini dan
masa lalu.
Ilmu sosial,
dalam mempelajari aspek-aspek masyarakat secara subjektif, inter-subjektif, dan
objektif atau struktural, sebelumnya dianggap kurang ilmiah bila dibanding
dengan ilmu alam. Namun sekarang, beberapa bagian dari ilmu sosial telah banyak
menggunakan metoda kuantitatif. Demikian pula, pendekatan interdisiplin dan
lintas-disiplin dalam penelitian sosial terhadap perilaku manusia serta faktor
sosial dan lingkungan yang mempengaruhinya telah membuat banyak peneliti ilmu
alam tertarik pada beberapa aspek dalam metodologi ilmu sosial. Penggunaan
metoda kuantitatif dan kualitatif telah makin banyak diintegrasikan dalam studi
tentang tindakan manusia serta implikasi dan konsekuensinya.
Cabang-cabang ilmu sosial :
a)
Antropologi, yang mempelajari manusia pada umumnya,
dan khususnya antropologi budaya, yang mempelajari segi kebudayaan masyarakat
b)
Ekonomi, yang mempelajari produksi dan pembagian
kekayaan dalam masyarakat
c)
Geografi, yang mempelajari lokasi dan variasi keruangan
atas fenomena fisik dan manusia di atas permukaan bumi
d)
Hukum, yang mempelajari sistem aturan yang telah
dilembagakan
e)
Linguistik, yang mempelajari aspek kognitif dan sosial
dari bahasa
f)
Pendidikan, yang mempelajari masalah yang berkaitan
dengan belajar, pembelajaran, serta pembentukan karakter dan moral
g)
Politik, yang mempelajari pemerintahan sekelompok
manusia (termasuk negara)
h)
Psikologi, yang mempelajari tingkah laku dan proses
mental
i)
Sejarah, yang mempelajari masa lalu yang berhubungan
dengan umat manusia
j)
Sosiologi, yang mempelajari masyarakat dan hubungan
antar manusia di dalamnya
3. Humanities (Ilmu Humaniora)
Ilmu
Humaniora adalah salah satu ilmu pengetahuan yang mempelajari apa yang
diciptakan atau diperhatikan manusia (dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan
alam) (KBBI,1999).
Ilmu
humaniora bertujuan memunculkan sosok yang humanis yakni orang yang mendambakan
dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan yang lebih baik, berdasarkan asas-asas
perikemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama umat manusia. Secara lebih khusus,
Prof. Dr. IGAK Wardani (2007) menjelaskan bahwa tujuan ilmu humaniora adalah
v
membebaskan pikiran untuk mandiri dalam menemukan,
memilih, dan memanfaatkan informasi
v membuat
manusia lebih manusiawi, dalam arti lebih berbudaya.
Cabang-cabang Ilmu Humaniora :
- Bahasa
- Sastra
- Teologi
- Filsafat
- Ilmu Sejarah
- Kesenian
D.
Pendekatan-Pendekatan
Keilmuan
Dalam masyarakat akademis terdapat
beberapa pandangan atau pendekatan keilmuan. Pandangan ini penting karena
pandangan itu merupakan kerangka dasar dari berbagai teori dan model dalam ilmu
komunikasi. Littlejohn dalam bukunya Theories of Human Communication,
mengemukakan bahwa masyarakat ilmiah menurut cara pandang dan objek pokok
pengamatannya dapat dibagi dalam 3 kelompok/aliran pendekatan :
1) Pendekatan
scientific (ilmiah-empiris)
2) humanistic
(humaniora-interpretatif)
3) Pendekatan
social sciences (ilmu-ilmu sosial)
Pandangan scientific, mengemukakan bahwa
ilmu diasosiasikan dengan objektivitas yaitu
yang menekankan prinsip standarisasi observasi dan konsistensi. Landasan
filosophisnya adalah, dunia ini pada dasarnya mempunyai bentuk dan struktur.
Umumnya padandangan ini dianut oleh para ahli ilmu eksakta seperti fisika,
biologi, kedokteran, matematika dan lain-lain. Ciri utama pandangan ini adalah
pemisahan yang tegas antara known (objek atau
hal yang ingin diketahui dan diteliti) dan knower (subjek pelaku atau
pengamat). Metode yang sering digunakan adalah metode eksperimen. Tujuan
penelitiannya diarahkan pada upaya mengukur ada atau tidaknya pengaruh atau hubungan
sebab akibat diantara dua variabel atau lebih dengan mengontrol pengaruh
variabel lain.
Sebagai contoh : Lima ekor tikus
diberikan suntikan X, sementara lima ekor tikus lainnya (yang mempunyai ciri
yang sama) tidak. Setelah kurun waktu tertentu (misalnya setelah 1 bulan, 3
bulan, dan seterusnya), dibandingkan ada tidaknya perbedaan di antara kedua
kelompok lima ekor tikus tersebut. Kalau ternyata terdapat perbedaan, dapat
ditarik kesimpulan bahwa perbedaan tersebut terjadi karena pengaruh dari suntikan
X tersebut.
Pendekatan humanistic mengasosiasikan
ilmu dengan prinsip subjektivitas. Dalam konteks ilmu-ilmu sosial, salah satu
bentuk metode penelitian yang lazim dipergunakan dari aliran “humanistic” ini
adalah “partisipasi observasi”. Melalui metode ini, si peneliti dalam mengamati
sikap dan perilaku dari orang-orang yang ditelitinya membaur dan melibatkan
diri secara aktif dalam kehidupan dari orang-orang yang ditelitinya. Misalnya,
bergaul, tinggal di rumah orang-orang tersebut, serta ikut serta dalam
aktivitas sehari-hari mereka dalam kurun waktu tertentu (1 minggu, 1 bulan, dan
seterusnya). Interpretasi atas sikap dan perilaku dari orang-orang yang
ditelitinya, tidak hanya didasarkan atas informasi yang diperoleh melalui hasil
wawancara atau tanya-jawab dengan orang-orang yang ditelitinya, tetapi juga
atas dasar pengamatan langsung dan pengalaman berinteraksi dengan mereka.
Pandangan klasik dari aliran
“humanistic” adalah bahwa cara pandang seseorang tentang sesuatu hal akan
menentukan penggambaran dan uraiannya tentang hal tersebut. Karena sifatnya
yang subjektif dan interpretatif, maka pendekatan aliran “humanistic” ini
lazimnya cocok diterapkan untuk mengkaji persoalan-persoalan yang menyangkut
sistem nilai, kesenian, kebudayaan, sejarah dan pengalaman pribadi.
Terdapat
beberapa perbedaan pokok antara kedua pandangan ini :
Scientific
:
a) Ilmu
bertujuan untuk menstandarisasikan obsservasasi.
b) Tujuan
ilmu adalah mengurangi perbedaan-perbedaan pandangan tentang hasil pengamatan.
c) Memandang
ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang berada disana (out there), di luat diri
pengamat/peneliti.
d) Memfokuskan
perhatiannya pada dunia hasil penemuan (discovered world).
e) Berupaya
memperoleh konsensus.
f) Membuat
pemisahan yang tegas antara known dan knower.
Humanistic
:
a) Mengutamakan
kreatifitas individual.
b) Bertujuan
untuk memahami tanggapan dan hasil temuan subjektif individual.
c) Memandang
ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang
berada di sini (in here), dalam arti berada dalam diri (pemikiran,
interpretasi) pengamat/peneliti.
d) Memfokuskan
perhatiannya pada dunia para penemunya (discovering person).
e) Mengutamakan
interpretasi-interpretasi alternatif.
f) Cenderung
tidak membuat pemisahan antara known dan
knower.
Pendekatan social sciences, pada
dasarnya merupakan gabungan atau kombinasi
dari pendekatan aliran scientific dan humanistic. Digunakannya kedua
aliran ini oleh pendekatan ilmu sosial karena objek studi ilmu pnegetahuan
sosial adalah kehidupan manusia yang memerlukan pengamatan yang cermat dan
akurat. Dengan demikian pengamatan harus
seobjektif mungkin agar hasilnya dapat
berlaku umum dan tidak bersifat khusus. Mereka harus mampu mencapai
kesepakatan/konsensus walaupun sifatnya relatif dalam arti dibatasi oleh faktor
waktu, situasi dan kondisi tertentu. Selain itu ilmu pengetahuan sosial mengutamakan
faktor penjelasan dan interpretasi
karena manusia itu manusia yang aktif dan memiliki daya pikir, berpengetahuan
dan memegang prinsip dan nilai-nilai tertentu serta tindakannya dapat berubah
sewaktu-waktu. Ilmu pengetahuan sosial memerlukan interpretasi objektif
terhadap perilaku manusia guna menangkap makna dari tingkah laku tersebut.
Seringkali perbuatan seseorang semu dalam arti tidak mencerminkan keinginan hati sebenarnya dari orang
tersebut.
Interpretasi dan penjelasan juga
diperlukan karena meskipun berdasarkan ciri-ciri biologis, sosial, atau
ciri-ciri lainnya manusia dapat dibagi dalam
beberapa kelompok dengan kategori-kategori tertentu, tidak berarti bahwa
masing-masing baik secara individual ataupun kelompok akan mempunyai persamaan
dalam hal sikap dan perilakunya. Umpamanya: 3 orang (si A, si B dan si C)
semuanya memiliki beberapa karakteristik individual yang sama yakni semuanya
wanita, semuanya bekerja sebagai guru sekolah dasar, dan semuanya berpendidikan
tamatan SLTA. Namun demikian, ketiga orang tersebut boleh jadi masing-masing
akan mempunyai perbedaan satu sama lainnya mengenai sikap dan perilakunya
tentang suatu hal.
Perkembangan selanjutnya, pendekatan
ilmu pengetahuan sosial secara umum terbagi dalam dua kubu: ilmu pengetahuan
tingkah laku (behavioral science) dan ilmu pengetahuan sosial (social
sciences). Kubu pertama umumnya menekankan pengkajian pada tingkah laku
individual manusia, sedangkan kubu kedua pada interakasi antar manusia.
Perbedaan pada kedua kubu itu pada dasarnya hanya menyangkut aspek permasalahan
yang diamati sedangkan metode pengamatannya relatif sama.
Bidang kajian ilmu komunikasi sebagai
bagian dari ilmu sosial pada dasarnya difokuskan pada pemahaman tentang
bagaimana tingkah laku manusia dalam menciptakan, mempertukarkan dan
menginterpretasikan pesan-pesan untuk tujuan tertentu. Namun dengan adanya dua
pendekatan (scientific dan humanistic) yang diterapkan, maka muncul dua
kelompok masyarakat ilmuwan komunikasi. Ada yang menerapkan pendekatan
scientific seperti para ahli di bidang komunikasi interpersonal, komunikasi
organisasi dan sebagainya. Dipihak lain ada yang menerapkan aliran pendekatan
humanistic, misalnya para akhli komunikasi ujaran (speech communication).
Pengelompokkan seperti ini, sekarang tidak jelas lagi, karena dalam prakteknya
kalangan ilmuwan komunikasi interpersonal banyak juga menerapkan pendekatan
humanistic, begitu juga dengan kalangan akhli komunikasi ujaran, seringkali
menerapkan pendekatan scientific.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Istilah pengetahuan, ilmu (sains), dan
filsafat pada pembahasan sebelumnya banyak disinggung sebagai bagian dari ruang
lingkup pengetahuan itu sendiri. Namun demikian, meskipun ketiganya memiliki
persamaan sebagai pengetahuan tetap ditemukan perbedaan-perbedaan mendasar,
baik dari segi pengertian, fungsi maupun cara-cara untuk memperolehnya.
Pengetahuan sebagai pengetahuan yang
benar dibicarakan dalam ranah pengetahuan ilmiah (ilmu/sains). Ilmu (sains)
adalah pengetahuan yang bertujuan untuk mencapai kebenaran ilmiah tentang objek
tertentu yan diperoleh melalui pendekatan, metode dan sistem tertentu. Ilmu
tidak hanya berbicara tentang hakikat (ontologis) pengetahuan itu sendiri,
melainkan juga mempersoalkan tentang bagaimana (epistemologis) pengetahuan
tersebut dapat diproses menjadi sebuah pengetahuan yang benar-benar memiliki
nilai guna (aksiologis) untuk kehidupan manusia. Oleh karenanya, perkembangan
ilmu pengetahuan itu pada dasarnya bersifat dinamis.
Selain pengetahuan biasa dan pengetahuan
ilmiah (sains) yang telah dipaparkan di Atas, filsafat juga merupakan bagian
penting yang turut dibicarakan dalam ranah pengetahuan, sebab filsafat
merupakan bagian dari pengetahuan itu sendiri.
B. Saran
Sebagai penyusun, kami merasa masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah
ini. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca. Agar kami dapat
memperbaiki makalah kami yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008)
Hermawan, Asep.
Penelitian Bisnis: Paradigma Kuantitatif, (Jakarta: Grasindo, 2005)
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:
Liberty, 1997), cet. ke-3
Semiawan, Conny. Theodorus Immanuel Setiawan dan Yufiarti, Panorama Filsafat Ilmu: Landasan Perkembangan
Ilmu Sepanjang Zaman, (Bandung: Teraju, 2007), cet. ke-2
S.
Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2013), Cet. ke-24..
Budiharto, Metodologi Penelitian Kesehatan: Dengan
Contoh Bidang Ilmu Kesehatan Gigi, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2008), Cet. ke-1, h. 10.
Bakhtiar, Amsal.
Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006)
[1] Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 1022.
[4] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty,
1997), cet. ke-3, h. 110.
[5] Asep Hermawan, op.cit, hal. 4-5.
[6] Conny Semiawan, Theodorus Immanuel Setiawan dan Yufiarti, Panorama
Filsafat Ilmu: Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman, (Bandung: Teraju,
2007), cet. ke-2, h. 19.
[7] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2013), Cet. ke-24, h.120.
[9] Mohammad Adib, Ibid, hal. 93-94.
[10] Budiharto, Metodologi Penelitian Kesehatan: Dengan Contoh Bidang
Ilmu Kesehatan Gigi, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2008), Cet. ke-1,
h. 10.
[11] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006),
h. 152-155.
[12] Jujun S. Suriasumantri, op.cit, hal. 127-128.
[14] Jujun S. Suriasumantri, op.cit, h.142
[15] Ibid, hal. 147.
[16]
The Liang Gie, op.cit, h.
141.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar