Jumat, 10 Maret 2017

Islam sebagai pengetahuan Ilmiah



METODOLOGI STUDI ISLAM

”Islam Sebagai Pengetahuan Ilmiah”

KELOMPOK: 7
JUSMANIAR    : 140101014
SAHRIANI        : 140101013


INSITUT AGAMA ISLAM (IAIM) MUHAMMADIYAH
SINJAI
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua yang berupa ilmu dan amal. Dan berkat Rahmat dan Hidayah-Nya pula, penulis dapat menyelesaikan makalah tentang Islam sebagai Pengetahuan Ilmiah
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, kritik, saran, dan masukan yang membangun sangat kami butuhkan untuk dijadikan pedoman dalam penulisan ke arah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin.









Sinjai, 10 maret  2017

                                                    Kelompok 7





 


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada dasarnya pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui manusia, baik pengetahuan tersebut merupakan kesimpulan yang benar maupun pengetahuan dengan kesimpulan yang salah (keliru). Pada bagian terdahulu misalnya, telah dipaparkan perkembangan pengetahuan manusia dari taraf yang paling rendah – bahkan keliru dalam pandangan pengetahuan masyarakat modern – hingga pengetahuan ilmiah yang sangat mendukung kelangsungan hidup umat manusia. Oleh karenanya pengetahuan bisa saja salah, akan tetapi pengetahuan yang hakiki sejatinya merupakan pengetahuan yang benar.
Ilmu pengetahuan pada prinsipnya merupakan sebuah tesisyang diuji dengan antitesis sehingga menghasilkan pengetahuan yang baru (sintesis). Hail pengetahuan baru tersebut (sintesis) akan menjadi sebuah tesis yang baru pula sehingga akan diuji kembali dengan antitesis yang baru dan akan melahirkan pengetahuan yang baru (sintesis).
Pandangan Aristoteles tentang keingintahuan manusia dan pandangan Sokrates yang menganggap bahwa ketidaktahuan merupakan kenyataan kodrati manusia, sesungguhnya bukan merupakan pandangan yang secara essensial harus dipertentangkan satu sama lain. Langkah pertama menuju pengetahuan yang dibayangkan Aristoteles sejatinya merupakan kesadaran Socratik bahwa manusia tahu bahwa ia tidak tahu, sehingga ada keinginan untuk tahu dan keinginan tersebut dapat diwujudkan. Titik temu yang dapat ditarik dari keduanya adalah eksistensi pengetahuan sebagai bagian penting yang pasti ada pada diri manusia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian  pengetahuan, Ilmu, dan Filsafat?
2.      Apa perbedaan Pengetahuan, Ilmu, dan Filsafat?
3.      Seperti apa  mtode Ilmiah dan struktur Ilmu?
4.      Bagaimana klasifikasi ilmu?
5.      Bagaimana pendekatan keilmuan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Arti dan Perbedaan Antara Pengetahuan, Ilmu dan Filsafat
1.      Pengetahuan
Pengetahuan itu sendiri pada garis besarnya dibagi menjadi dua, yang pertama disebut dengan pengetahuan (ﺤﺿﺭﻯ) hudury atau Knowledge by Present dan yang kedua adalah pengetahuan (ﺍﺻﻭﻟﻰ)ushuly atau Knowledge by Correspondence.
Knowledge by Present artinya adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dan tidak memerlukan landasan teori apapun. Contohnya adalah pengetahuan tentang rasa lapar. Rasa lapar diketahui selalu bersamaan dengan rasa lapar itu sendiri, pengetahuan ini tidak membutuhkan pengetahuan luar. Untuk mengetahui rasa lapar kita tidak memerlukan penjelasan dan pengetahuan tentang rasa lapar dari orang lain dan ataupun dari buku-buku teori. Sedangkan yang Knowledge by Correspondence adalah sebaliknya, pada knowledge by correspondence pengetahuan itu diperoleh harus melalui perantaran semisal melalui perantaran indra dan lain-lain. Tentang pengetahuan knowledge by correspondence ini sendiri sebenarnya masih bisa dibagi menjadi dua bagian lagi, yang pertama disebut dengan pengetahuan rasional dan yang kedua disebut dengan pengetahuan empiris.
Pengetahuan rasional, contohnya adalah pengetahuan tentang matematika, politik, filsafat dan lainlain. Sedangkan yang disebut dengan pengetahuan emphiris contohnya adalah pengetahuan tentang biologi, kimia, fisika dan lain-lain.
Perlu untuk dicatat bahwa, pada tahapan tertentu bisa saja sebuah pengtahuan yang tadinya rasional berubah menjadi emphiris dan sebaliknya yang emphiris bisa dilihat dengan pendekatan rasional.
Alkisah bertanyalah seorang awan kepada ahli filsafat yang arif bijaksana, “Coba sebutkan kepada saya berapa jenis manusia yag terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya!”. Filsuf itu menarik napas panjang dan berpantun:
Ada orang yang tahu di tahunya
Ada orang yang tahu di tidak tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tidak tahunya.
“Bagaimanakah caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?” sambung orang awan itu; penuh hasrat dalam ketidaktahuannya.
“Mudah saja,” jawab Filsuf itu, “Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu.”
Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh manusia benar-benar ada ketika ia mengetahui objek yang ingin diketahui.  Pengetahuan biasa umumnya tidak mempersoalkan hal ini, apakah manusia tahu bahwa ia tahu, atau justru tidak tahu bahwa ia tidak tahu.
2.       Ilmu
Istilah “Ilmu” ekuivalen dengan science, dalam bahasa inggris dan Prancis Wissenschaft (Jerman) Wetenschap (Belanda), berarti “Tahu”. Istilah  “Ilmu” sendiri berasal dari Bahasa Arab ‘alima’ yang juga berarti “Tahu”. Jadi, secara etimologi ilmu berarti pengetahuan. Namun secara Terminologi terdapat perbedaan antara definisi yang dikemukakan oleh para tokoh ilmuwan pada umumnya, dengan definisi yang dikemukakan oleh ilmuwan Islam.
Anshari (1985: 47-49) mengutip beberapa definisi ilmu/sciece yang dikemukakan oleh para ahli. Misalnya Kari Pearson dalam bukunya Grammar Of Science , merumuskan: “Science is the complete and consistent description of the facts of experience in the simplest possible terms” (Ilmu pengetahuan ialah lukisan keterangan yang lengkap dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana /sedikit mungkin). Baiquni, merumuskan: “Science merupakan general concensus dari masyarakat yang terdiri atas para scientist”, dan masih banyak lagi definisi ilmu yang dikemukakan oleh para ahli.
Dari keterangan-keterangan para ahli tersebut, ilmu pengetahuan adalah semacam pengetahuan yang mempunyai cirri, tanda, dan syarat tertentu, yaitu: sistematik, rasional, empiris, umum dan kumulatif (bersusun timbun). Dengan kata lain, ia merupakan pemahaman manusia yang disusun suatu system mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian, hukum-hukum tentang hal-ihwal yang diselidiki, yang diuji secara empiris, riset dan eksperimental. Ia merupakan pengetahuan sistenatis dan taat asas tentang suatu objek berupa gejala alam, social dan budaya yang dapat diamati (observable) dan ukur (measurable).
Dengan demikian dapat disimpulkan ilmu adalah suatu pengetahuan yang menggunakan metode atau cara-cara diamping sistematika sehingga dapat sangat memungkinkan untuk mendapatkan kebenaran.
3.      Filsafat
Filasafat berasal dari bahasa Arab (ﻔﻟﺳﻓﻪ) orang arab sendiri mengambilnya dari bahasa yunani : "Philosophie". Dalam bahsa yunani philosophie itu merupakan kata majemuk yang terdiri dari "Philo" dan "sopia", kata Prof. I.R. Pujawiyatna "Philo artinya cinta dalam arti seluas-luasnya. Sofia artinya kebijaksanaan".
Kata filsafat itu lebih jauh dijelaskan oleh Drs. Amsal Bukhari, MA. Belia mengambil ulasan Al Farabi menyatakan bahwa, "filsafat adalah pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat sebenarnya".
Apa yang dipaparkan oleh Al Farabi dicontohkan tentang kedudukan manusia dalam realita jagat raya ini. Ini harus dikaji dengan pemikiran yang mendalam, luas, universal, radikal, sistematis, kritis, deskritif, analisis, evaluatif dan spekulatif.
Dan dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah ilmu yang menerangkan dan menggunakan metode dan sistem guna mendapatkan apa yang ingin diketahui secara mendalam dan mengakar melebihi apa yang didapatkan oleh ilmu pengetahuan.       
Selain pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah (sains) yang telah dipaparkan di atas, filsafat juga merupakan bagian penting yang turut dibicarakan dalam ranah pengetahuan, sebab filsafat merupakan bagian dari pengetahuan itu sendiri.
4.      Perbedaan Filsafat, Ilmu dan Pengetahuan
Sebagai kesimpulan ialah perbedaan antara pengetahuan, ilmu dan  filsafat adalah bahwa pengetahuan itu berada pada tahap pertama yaitu sekedar mengetahui secara umum dan tidak sampai mengakar, sedangkan ilmu sudah sampai pada tahapan yang ke dua yaitu pengenalan secara rasio, artinya keberadaan manusia (manusia sebagai objek) dengan segala sifat-sifatnya sudah dianalisa secara akal, sehingga tidak bertanya-tanya dan ragu-ragu. Dan perbedaan ilmu dan filsafat adalah filsafat objeknya universal atau berifat umum sementara ilmu bersifat khusus.
Kemudian penjelajah ilmu akan puas dengan teori-teorinya, sedangkan filasafat terus berenag dan menyelam pada uji cobadan eksperimen, seperti halnya yang dilakukan Ibrahim ketika ingin mengetahui cara menghidupkan yang mati. (QS. Al-Baqarah: 260)
Artinya : "Dan (Ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku Telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, Kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Filsafat titik tekan kajiannya adalah ontologi sementara Ilmu Pengetahuan (Science) titik tekan kajiannya adalah Epitimologi sehingga kalau kita buat dalam sebuah bagan maka bentuknya akan menjadi seperti ini : Ontologi berbicara tentang benda atau objeknya, Objek ontology situ sendiri ada dua, yang pertama disebut sebagai objek materiphisik dan yang kedua disebut sebagai objek materi non phisik. Sedangkan Epistimologi berbicara tentang subjeknya, yaitu berbicara tentang si orang yang menilai atau yang mempelajari atau yang mengamati si objek ontology melalui indra, akal dan hati.
Jadi bisa dikatakan dengan ringkas bahwa pengetahuan itu melekat didiri si pengamat atau subjek sehingga jika si subjek berbeda tafsir terhadap objek yang sama maka yang perlu diperiksa adalah seberapa jauh pengetahuan si subjek terhadap objek tersebut.
Kenapa demikian? Karena pada hakekatnya yang mempunyai pengetahuan adalah si subjek sementara objek material yang diamati atau yang dijadikan penelitian itu sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan keberadaannya juga tidak akan berubah hanya karena kesalahan tafsir dari subjek yang mengamatinya.




B.     Metode Ilmiah dan Stuktur Pengetahuan Ilmiah
1.      Metode Ilmiah
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa metode berarti:
a.       cara yang teratur berdasarkan pemikiran yang matang untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); dan
b.      cara kerja yang teratur dan bersistem untuk dapat melaksanakan suatu kegiatan dengan mudah guna mencapai maksud yang ditentukan.[1] Sedangkan ilmiah berarti secara ilmu pengetahuan atau sesuai dengan syarat atau hukum ilmu pengetahuan.[2]
Menurut Jujun S. Suriasumantri, metode ilmiah sering dikatakan sebagai "prosedur" untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya pun harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu, tercantum dalam apa yang disebut dengan metode ilmiah.
Definisi yang hampir senada juga diungkapkan Asep Hermawan, metode ilmiah merupakan penggabungan antara rasionalisme dan empirisme. Metode ilmiah merupakan cara berpikir dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu atau pengetahuan ilmiah (science). Dapat dikatakan bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan metode ilmiah. Dalam hal ini, tidak semua pengetahuan(knowledge) merupakan ilmu (science). Metode ilmiah dapat pula diartikan sebagai cara-cara atau prosedur yang digunakan untuk menganalisis fakta-fakta empirik dalam menguji penyataan-pernytaan empirik[3]
Menurut The Liang Gie, metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikir, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau memperkembangkan yang ada.[4]
Sebagaimana telah diketahui, berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran. Dengan cara bekerja ini, maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji, yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang bisa diandalkan. Dalam hal ini, maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif dengan cara berpikir induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya.[5] Dalam menyusun metode ilmiah dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu:
1)      Manusia mendekati apa yang merupakan objek ilmiah berdasarkan pengamatan dan penelitian yang disebut empiris (pendekatan induktif);
2)      Manusia semakin mengerti apa yang merupakan susunan objek yang sedang dipelajari sedalam-dalamnya, sehingga didapat pengertian dari dalam ilmu itu (pendekatan deduktif).[6]
Berpikir deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah, dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Secara sistematik dan kumulatif, pengetahuan ilmiah disusun "setahap demi setahap", dengan menyusun argumentasi-argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Dengan demikian, maka ilmu merupakan tubuh pengetahuan yang tersusun dan ter-organisasi-kan dengan baik, sebab penemuan yang tidak teratur dapat diibaratkan sebagai "rumah atau batu bata yang cerai-berai". Secara konsisten dan koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada objek yang berada dalam fokus penelaahan.[7]
Penjelasan yang bersifat rasional ini, dengan kriteria kebenaran koherensitidak memberikan kesimpulan yang bersifat final, sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme yang besifat pluralistik, maka dimungkinkan tersusunnya bebagai penjelasan terhadap suatu obyek pemikiran tertentu. Meskipun argumentasi secara rasional didasarkan kepada premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya, namun bisa saja pilihan yang berbeda dari sejumlah premis ilmiah yang tersedia, yang digunakan dalam penyusunan argumentasi. Oleh sebab itu, maka digunakan pula cara berpikir induktif yang berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi.
Teori korespondensi, menyebutkan bahwa suatu pernyataan dapat dianggap benar jika materi yang terkandung dalam pernyataan itu sesuai (berkorespondensi) dengan obyek faktual yang dituju oleh pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar bila terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Misalnya seseorang menyatakan bahwa "Salju itu berwarna putih", maka pernyataan itu adalah benar jika terdapat kenyataan yang mendukung isi pernyataan tersebut, yakni bahwa dalam daerah pengalaman kita memang dapat diuji bahwa salju itu benar-benar berwarna putih.Bagi mereka yang sudah biasa melihat salju, maka pengujian semacam ini tidaklah terlalu berarti. Namun bagi mereka yang belum pernah melihat salju, maka pengujian secara empiris mempunyai suatu makna yang lain (berbeda). Hal ini akan memberi arti yang lebih lagi jika seandainya seseorang menyatakan, misalnya, bahwa "terdapat partikel X dalam atom yang sebelumnya belum pernah diketahui manusia". Pengujian secara empiris dan pernyataan semacam ini jelas bersifat imperatif, sebab bagaimana kita semua dapat mempercayai kebenaran pernyataan itu, bila tak ada seorang pun yang telah melihat partikel X itu sebelumnya?.
Kenyataan semacam ini, sering terjadi dalam pengkajian masalah keilmuan, yakni bila kita dihadapkan dengan pernyataan-pernyataan yang secara empiris belum kita kenali. Dan justru di sinilah sebenarnya esensi dari penemuan ilmiah, yakni bahwa kita mengetahui sesuatu yang belum pernah kita ketahui dalam pengkajian ilmiah sebagai kesimpulan dalam penalaran deduktif. Penemuan "yang satu" akan mengakibatkan penemuan "yang lain" dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Penarikan kesimpulan seperti ini, sering memberikan kita kejutan yang menyenangkan, sebab memberikan kepada kita pengetahuan yang belum kita kenal sebelumnya.
Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Tentu saja hal ini membawa kita kepada pertanyaan lain: Mengapa manusia mulai mengamati sesuatu? Kalau kita telaah lebih lanjut, ternyata bahwa kita mulai mengamati obyek tertentu kalau kita mempunyai perhatian tertentu terhadap obyek tersebut. Oleh John Dewey, perhatian tersebut dinamakan sebagai suatu masalah atau kesulitan yang dirasakan bila kita menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan pertanyaan. Dan pertanyaan tersebut timbul disebabkan oleh adanya kontak manusia dengan dunia empiris, yang menimbulkan berbagai ragam permasalahan.Dapat kita simpulkan bahwa karena ada masalah-lah maka proses kegiatan berpikir dimulai. Dan karena masalah masalah ini berasal dari dunia empiris, maka proses berpikir tersebut diarahkan pada pengamatan obyek yang bersangkutan, yang ber-eksistensi dalam dunia empiris pula.
Bahwa manusia mengahadapi masalah, atau bahwa manusia menyadari adanya masalah dan bermaksud untuk memecahkannya, hal ini bukanlah "sesuatu" yang baru sejak manusia berada di muka bumi sejak dahoeloe kala. Namun dalam menghadapi masalah ini, maka manusia memberikan "reaksi yang berbeda-beda", sesuai dengan perkembangan cara berpikir mereka masing-masing.Seperti telah dibahas pada bagian terdahulu, terdapat bermacam-macam sumber dan cara mendapatkan pengetahuan, sebagai jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi manusia. Dilihat dari perkembangan kebudayaannya, maka sikap manusia dalam menghadapi masalah dapat dibedakan menurut ciri-ciri tertentu. Berdasarkan sikap manusia dalam menghadapi masalah ini, maka Van Peursen membagi perkembangan kebudayaan menjadi tiga tahap, yakni tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional.
*      Yang dimaksudkan dengan tahap mistis adalah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib (ghaib) di sekitarnya.
*      Yang dimaksudkan dengan tahap ontologis adalah sikap manusia yang tidak lagi merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib (ghaib) dan bersikap mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, serta memulai melakukan penalaahan-penalaahan terhadap obyek tersebut.
*      Yang dimaksudkan dengan tahap fungsional adalah sikap manusia yang bukan saja merasa telah "terbebas dari kepungan" kekuatan-kekuatan gaib (ghaib) dan mempunyai pengetahuan berdasarkan penelaahan terhadap obyek-obyek di sekitar kehidupannya, namun lebih dari itu dia mem-fungsional-kan pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya.
Tahap fungsional ini dibedakan dengan tahap ontologis, sebab belum tentu bahwa pengetahuan yang didapatkan pada tahap ontologis ini, dimana manusia "mengambil jarak" terhadap obyek di sekitar kehidupan dan mulai menelaahnya, mempunyai manfaat (kegunaan) langsung terhadap kehidupan manusia. Bisa saja manusia menguasai pengetahuan demi pengetahuan, namun tidak mempunyai kegunaan fungsional dalam kehidupannya.
Ilmu mulai berkembang pada tahap ontologis ini, manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu, yang terlepas dari kekuasaan-kekuasaan dunia mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris. Dalam tahap ontologis ini, maka manusia mulai "mengambil jarak" dari obyek di sekitarnya, tidak seperti apa yang terjadi dalam dunia mistis, dimana semua obyek berada dalam kesemestaan yang bersifat difusi dan tidak jelas batas-batasnya.
Manusia mulai memberi batas-batas yang jelas kepada obyek kehidupan tertentu, yang terpisah dengan eksistensi manusia sebagai yang mengamati dan menelaah obyek tersebut. Dalam menghadapi masalah tertentu, maka dalam tahapontologis ini, manusia sudah mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang memungkinkan manusia dapat mengenal wujud masalah itu, untuk kemudian ditalaah/dikaji dan dicairkan pemecahan jawabannya.[8]
Menurut Mohammad Adib, secara garis besar metode ilmiah ada dua macam, yaitu metode ilmiah yang bersifat umum dan metode penyelidikan ilmiah.[9]
a.       Metode ilmiah yang bersifat umum
Metode ilmiah yang bersifat umum dibagi menjadi dua, yaitu metode analitiko-sintesa dan metode nondeduksi. Metode analitioko-sintesa merupakan gabungan dari metode analisis dan metode sintesa. Metode nondeduksi merupakan gabungan dari metode deduksi dan metode induksi.
Apabila kita menggunakan metode analisis, dalam babak terakhir kita memperoleh pengetahuan analitis. Pengetahuan analitis itu ada dua macam, yaitu pengetahuan analitik apriori dan pengetahuan analitik aposteriori.
Metode ilmiah di bagi 2 jenis, yaitu:
ü  Metode analisis ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milahkan pengertian yang satu dengan penegrtian yang lainnya. Pengetahuan analisis apriori misalnya, definisi segitiga mengatakan bahwa segitika itu merupakan sautu bidang yang dibatasi oleh tiga garis lurus saling beririsan yang membentuk sudut berjumlah 180 derajat. Pengetahuan analitis aposteriori berarti bahwa kita dengan menerapkan metode analisis terhadap sesuatu bahan yang terdapat di alam empiris atau dalam pengalaman sehari-hari memperoleh sesuatu pengetahuan tertentu. Misalnya, setelah kita mengamati sejumlah kursi yang ada, kemudian kita berusaha unutk menetukan apakah yang dinamakan kursi itu? Definisnya misalnya, kursi adalah perabot kantor atau rumah tangga yang khusus disediakan untuk tempat duduk. Pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode sintesis dapat berupa pengetahuan sintesis apriori dan pengetahuan sintesisi aposteriori.
ü  Metode sintesa ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan cara menggabungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lainnya sehingga menghasilkan sesuatu pengetahuan yang baru. Pengetahuan sinstesis apriori misalnya, pengetahuan bahwa satu ditambah empat sama dengan lima. Aposteriori menunjuk kepada hal-hal yang adanya berdasarkan atau terdapat melalui pangalaman atau dapat dibuktikan dengan melakukan sesuatu tangkapan indrawi. Pengetahuan sintetis  aposterior itu merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara menggabung-gabungkan pengertian yang satu dengan yang lain menyangkut hal-hal yang terdapat alam tangkapan indrawi atau yang adanya dalam pengalaman empiris.

b.      Metode ilmiah penyelidikan ilmiah
Metode penyelidikan ilmiah dapat dibagi menjadi dua, yaitu metode penyelidikan yang berbentuk daur/metode siklus empiris dan metode vertikal atau yang yang berbentuk garis lempang/metode linier. Yang dinamakan siklus-empiris ialah suatu cara penanganan terhadap sesuatu objek ilmiah tertentu yang biasanya bersifat empiris-kealaman dan penerapannya terjadi di tempat yang tertutup.  Metode penyelidikan ilmiah yang berbentuk daur/metode siklus-empiris, maka pengetahuan yang dapat dihasilkannya akan berupa hipotesa, teori, dan hukum-hukum alam.
Kriteria metode ilmiah terdiri dari:
a)      Berdasarkan fakta atau kenyataan bukan berdasarkan pemikiran atau dugaan.
b)      Bebas dari prasangka, yaitu penggunaan fakta atau data dalam metode ilmiah hendaknya berdasarkan bukti yang lengkap dan objektif, hindari pertimbangan subjektif.
c)      Menggunakan prinsip analisis. Fakta atau data yang diperoleh harus dicari sebab akibatnya atau alasan-alasannya mampu dijelaskan dengan menggunakan prinsip analisis.
d)     Menggunakan hipotesis. Hipotesis adalah pernyataan sementara (sebab kebenarannya harus dibuktikan) atas jawaban terhadap pernyataan atau masalah penelitian. Hipotesis ini diperlukan untuk memandu jalan pikiran ke arah pencapaian tujuan penelitian dan cara analisisnya.
e)      Menggunakan ukuran yang objektif. Ukuran yang dipakai harus objektif dan tidak boleh berdasarkan pertimbangan-pertimbangan subjektif.[10]
Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai metode sendiri dalam pengetahuan, di antaranya adalah:
v  Metode induktif yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan- pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih dalam suatu pernyataan yang lebih umum (David Hume).
v  Metode deduktif yaitu suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu pernyataan yang runtut (Poper).
v  Metode positivisme adalah metode yang berpangkal dari apa yang telah diketahui., yang dfaktual, yang positif (August Comte).
v  Metode kontemplatif mengatakan adanmya kekerbatasan indera dan akakl manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda seharusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi (Al Ghazali).
v  Metode dialektis yaitu metode Tanya jawab (Socrates), metode dialektis adalah diskusi logika (Plato).
Banyak metode yang dapat digunakan untuk mencari kebenaran suatu ilmu. Metode ilmiah adalah penting bukan saja dalam proses penemuan pengetahuan umum terlebih lagi dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuan.[11]
Alur pikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypo-thetico-verifikasi pada dasarnya terdiri dari langkah langkah tertentu seperti berikut ini.
a)      Perumusan masalah yang merupakan argumentasi yang menjelaskan objek empiris yang jelas batasannya dan faktor yang terkait dapat diidentifikasi.
b)      Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin  terdapat antara nernagai faktor yang saling terkait dan menbentuk konstelasi permasalahan, yang disusun secara rasionil berdasarkan premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya.
c)      Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara terhadap pernyataan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
d)     Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan adanya fakta pendukung hipotesis.
e)      Penarikan Kesimpulan yang merupakan penilaian diterima atau tidaknya sebuah hipotesis. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah karena telah memenuhi persyaratan keilmuan, yaitu mempunyai kerangka kejelasana yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya dan telah teruji kebenarannya.
Keseluruhan langkah tersebut harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Hubungan antara langkah yang satu dengan yang lainnya tidak terikat secara statis melainkan bersifat dinamis dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas.[12]
Menurut The Liang Gie, unsur metode ilmiah terdiri dari:
·         Pola prosedural, yang terdiri dari pengamatan, percobaan, pengukuran, survai, deduksi, induksi, analisis dan lainnya;
·         Tata Langkah, yang terdiri dari penentuan masalah, perumusan hipotsesis (bila perlu), pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan pengujian hasil;
·         Berbagai tehnik, yang terdiri dari daftar pernyaan, wawancara, perhitungan, pemanasan, dan lainnya;
·         Dan aneka alat, yang terdiri dari timbangan, meteran, perapian, komputer dan lainnya.[13]
Dari uraian tersebut, tahapan dalam kegiatan ilmiah, yaitu: Perumusan Masalah, Penyusunan kerangka berpikir, Perumusan hipotesis, Pengujian hipotesis, dan Penarikan kesimpulan.
2.      Struktur Pengetahuan Ilmiah
Pengatahuan ilmiah atau ilmu adalah pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah dan memenuhi syarat-syarat keilmuan. Pengetahuan ilmiah diproses lewat serangkaian langkah- langkah tertentu yang dilakukan dengan penuh kedisiplinan, karakteristik inilah membuat ilmu dikonotasikan sebagai disiplin. Disiplin ilmu  berkembang relatif lebih cepat bila dibandingkan dengan pengatahuan- pengatahuan lainnya.
Pengatahuan ilmiah yang baru akan lahir dan memperkaya khasanah ilmu yang ada, jika telah melakukan hipotesis secara formal dan teruji kebenarannya. Jika sebuah pengetahuan ilmiah yang baru tersebut benar, maka pernyataan yang terkandung dalam pengetahuan ini dapat dipergunakan sebagai premis baru dalam kerangka pemikiran yang menghasilkan pengetahuan- pengetahuan ilmiah baru pula. Pada dasarnya ilmu dibangun secara bertahap dan sedikit demi sedikit sesuai kemampuan para ilmuan memberikan sumbangan ilmunya. Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut bedasarkan penjelasan yang ada. Secara garis besar terdapat 4 (empat) jenis pola penjelasan; Deduktif, Probabilistik, Funsional/teologis, dan Genetik.[14]
Penjelasan keilmuan memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya untuk mengontrol agar ramalan tersebut menjadi kenyataan atau tidak. Jadi pengetahuan ilmiah pada hakikatnya mempunyai tiga fungsi, yakni menjelaskan, meramalkan dan mengontrol.
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Tujuan akhir dari tiap disiplin keilmuan adalah mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh dan konsisten. Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum- hukum. Dalam teori ilmu ekonomi mikro misalnya kita mengenal hukum permintaan dan penawaran. Hukum pada hakikatnya merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat. Secara mudah maka kita dapat mengatakan bahwa teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang “mengapa” suatu gejala-gejala terjadi sedangkan hukum memberikan kemampuan kepada kita untuk meramalkan tentang  “apa” yang mungkin terjadi. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini merupakan “alat” yang dapat kita pergunakan untuk mengontrol gejala alam.[15]
Pengertian teoritis dikaitkan dengan gejala fisik yang dijelaskan oleh konsep yang dimaksud; artinya makin teoritis sebuah konsep maka makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila dikaitkan dengan gejala fisik yang tampak nyata. Makin tinggi keumuman sebuah konsep maka makin “teoritis” konsep tersebut.
Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, dan dengan demikian dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ada pun struktur pengetahuan ilmiah sebagai berikut:
ü  Teori yang merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan.
ü  Hukum yang merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat.
ü  Prinsip yang dapat diartikan sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala-gejala tertentu yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi.
ü  Postulat yang merupakan asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya.
Sedangkan menurut The Liang Gie, struktur pengetahuan ilmiah mencakup lima kelompok unsur,sebagai berikut:
                    i.            Jenis-jenis sasaran (objek sebenarnya)
                  ii.            Bentuk-bentuk pernyataan
                iii.            Ragam-ragam proposisi
                iv.            Ciri-ciri pokok
                  v.            Pembagian sistematis
Pertama-pertama mengenai sasaran atau objek pengetahuan ilmiah itu perlu diberikan penjelasan yang memadai. Setiap cabang ilmu khusus mempunyai objek sebenarnya yang dapat dibedakan menjadi objek material dan objek formal. Objek material adalah fenomena dunia yang ditelaah oleh ilmu, sedang objek formal adalah pusat perhatian dalam penelaahan ilmuwan terhadap fenomena itu. Penggabungan antara objek material dengan objek formal sehingga merupakan pokok soal tertentu yang dibahas dalam pengetahuan ilmiah merupakan objek yang sebenarnya dari cabang ilmu yang bersangkutan. Objek material secara tak menentu dan dalam keseluruhannya menunjukkan pokok soal suatu pengetahuan (terutama pengetahuan demonstratif) dalam hubungan dengan proposisi- proposisi yang dapat dibuat tentangnya.[16]
Aneka fenomena yang ditelaah  oleh segenap cabang ilmu khusus banyak sekali, mencapai ribuan sejalan dengan bertambahnya cabang- cabang ilmu itu. Suatu penggolongan yang sistematis dapat mengelompokkan segenap objek material pengetahuan ilmiah menjadi enam jenis, sebagai berikut:Ide abstrak, Benda fisik, Jasad hidup, Gejala rohani,  Peristiwa sosial, dan Proses tanda.
Suatu fenomena ditentukan oleh pusat perhatian ilmuwan menjadi objek sebenarnya dari suatu cabang ilmu. Kumpulan pernyataan yang memuat pengetahuan ilmiah dapat mempunyai empat bentuk:
a.       Deskripsi: merupakan kumpulan pernyataan bercorak deskriptif dengan memberikan pemerian mengenai bentuk, susunan, peranan, dan hal-hal terperinci lainnya dari fenomena yang bersangkutan.
b.      Preskripsi: Merupakan kumpulan pernyataan bercorak preskriptif dengan memberikan  petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan mengenai apa yang perlu berlangsung atau sebaiknya dilakukan dalam hubungannya dengan objek sederhana itu. Bentuk in dapat dijumpai pada cabang-cabang ilmu sosial, ilmu administrasi,dan lain-lain.
c.        Eksposisi pola: Bentuk ini merangkum pernyataan-pernyataan yang memaparkan pola-pola dalam sekumpulan sifat, ciri,  kecenderungan, atau proses lainnya dari fenomena yang ditelaah.
d.       Rekonstruksi Historis: Bentuk ini merangkum pernyataan-pernyataan yang berusaha menggambarkan atau menceritakan dengan penjelasan atau alasan yang diperlukan pertumbuhan sesuatu hal pada masa lampau yang jauh  lebih baik secara alamiah atau karena campur tangan manusia.[17]
Pada cabang-cabang ilmu lainnya yang lebih dewasa, selain empat bentuk pernyataan tersebut terdapat pula proposisi-proposisi yang dapat dibedakan menjadi tiga ragam, yaitu:
1)      Asas ilmiah: Suatu asas atau prinsip adalah sebuah proposisi yang mengandung kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati. Sebuah prinsip dalam ilmu sosial misalnya ialah prinsip gaji yang sama yang dapat dijadikan suatu pedoman  yang benar dalam pengangkatan para pegawai dan adminitrasi penggajian.
2)      Kaidah ilmiah: Suatu kaidah atau hukum dalam pengetahuan ilmiah adalah sebuah proposisi yang mengungkapkan keajegan atau hubungan tertib yang dapat diperiksa kebenarannya diantara fenomena sehingga umumnya berlaku pula untuk berbagai fenomena yang sejenis. Conohnya ialah hukum gaya berat yang terkenal dari Newton dan Boyle dalam ilmu kimia bahwa volume suatu gas berubah secara terbalik dengan tekanan bilamana suhu tetap dipertahankan sama.
3)      Teori Ilmiah: Suatu teori dalam scientific knowledge adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan secara logis untuk memberi penjelasan mengenai sejumlah fenomena. Misalnya, mengenai teori Darwin tentang evolusi organisme hidup yang menerangkan bahwa bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan primitif dalam perkembangan secara evolusioner sepanjang masa.
Teori merupakan tujuan dasar atau tujuan akhir dari ilmu. Teori tidak bisa dijadikan ciri pokok bagi ilmu seumumnya. Ciri pokok pertama bagi setiap cabang ilmu khusus haruslah sistematisasi pada pengetahuan ilmiah yang bersangkutan. Sistematisasi mengandung arti bahwa pengetahuan ilmiah itu harus disusun menjadi semacam system yang memiliki bagian-bagian yang penting dan hubungan-hubungan yang bermakna. Ciri sistematisasi harus dilengkapi dengan cirri-ciri pokok selanjutnya, yaitu keumuman (generality), rasionalitas, obyektivitas, kemampuan diperiksa kebenarannya (verifiability), dan kemampuan menjadi milik umum (communality).
Ciri generality (umum) menunjuk pada kualitas pengetahuan ilmiah untuk merangkung fenomena yang senantiasa makin luas dengan penentuan konsep-konsep yang paling umum dalam pembahasan sasarannya. Misalnya kalau ilmu politik akan menjelaskan tentang partai politik , penjelasan yang memuaskan ialah apabila pembahasan bisa beralih dari suatu partai politik tertentu dalam suatu negara khusus sampai pada semua partai politik dalam negara itu, dan terus lebih umum lagi sampai mencapai partai politik seumumnya disemua negara pada semua masa.
Ciri rasionalitas berarti bahwa ilmu sebagai pengetahuan ilmiah bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika (barber). Batu penguji pengetahuan ilmiah ialah penalaran yang betul dan perbincangan yang logis tanpa melibatkan factor-faktor non-rasional seperti emosi sesaat dan kesukaan pribadi, dengan demikian ilmu juga memiliki sifat obyektifitas.
Ciri verifiabilitas berarti bahwa pengetahuan ilmiah harus dapat diperiksa kebenarannya, diselidiki kembali, atau diuji ulang oleh setiap anggota lainnya dari masyarakat ilmuwan.
Kalau ciri objectivity menekankan ilmu sebagai interpersonal knowledge (pengetahuan yang bersifat antar-perseorangan), maka cirri pokok komunalitas menitikberatkan ilmu sebagai pengetahuan yang menjadi milik umum. Ilmu bukanlah hanya pengetahuan yang telah diterbitkan, melainkan pengetahuan tersebut setelah diuji secara objektif oleh para ilmuwan akan diterima secara umum menjadi kesepakatan pendapat rasional.[18]
C.     Klasifikasi Ilmu
Ilmu dapat digolongkan menjadi :
1.      Natural Science (Ilmu Alam)
Ilmu alam adalah ilmu yang berhubungan dengan gejala-gejala alam yang bersifat fisik, konstan dan bisa diamati secara kasat mata (Mudjia). Secara harfiah ilmu alam adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu dimana obyeknya adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapan pun dimana pun. Ilmu alam mempelajari aspek-aspek fisik & nonmanusia tentang Bumi dan alam sekitarnya. Ilmu-ilmu alam membentuk landasan bagi ilmu terapan, yang keduanya dibedakan dari ilmu sosial, humaniora, teologi, dan seni.
Cabang-cabang ilmu alam :
(a). Astronomi
(e). Geologi
(b). Biologi
(f). Geografi
(c). Ekologi
(g). Ilmu bumi
(d). Fisika
(h). Kimia
2.      Social Science (Ilmu Sosial)
Sebagaimana diketahui ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora mengkaji tentang perilaku manusia. Perilakunya dengan manusia lain baik secara pribadi maupun kolektif dikaji oleh sosiologi, perilaku kejiwaannya oleh psikologi, perilaku kebahasaannya oleh ilmu bahasa atau linguistik, perilakunya di masa lampau oleh sejarah, perilakunya mendidik oleh ilmu pendidikan, perilaku yang terkait dengan budaya atau nilai dan tradisi oleh antropologi, perilaku transaksinya oleh ilmu ekonomi, perilakunya dalam mendominasi dan memengaruhi orang lain oleh ilmu politik, perilakunya dengan tata aturan hidup oleh ilmu hukum dan seterusnya (Mudjia).
Secara harfiah Ilmu sosial adalah sekelompok disiplin akademis yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Ilmu ini berbeda dengan seni dan humaniora karena menekankan penggunaan metode ilmiah dalam mempelajari manusia, termasuk metoda kuantitatif dan kualitatif. Istilah ini juga termasuk menggambarkan penelitian dengan cakupan yang luas dalam berbagai lapangan meliputi perilaku dan interaksi manusia pada masa kini dan masa lalu.
Ilmu sosial, dalam mempelajari aspek-aspek masyarakat secara subjektif, inter-subjektif, dan objektif atau struktural, sebelumnya dianggap kurang ilmiah bila dibanding dengan ilmu alam. Namun sekarang, beberapa bagian dari ilmu sosial telah banyak menggunakan metoda kuantitatif. Demikian pula, pendekatan interdisiplin dan lintas-disiplin dalam penelitian sosial terhadap perilaku manusia serta faktor sosial dan lingkungan yang mempengaruhinya telah membuat banyak peneliti ilmu alam tertarik pada beberapa aspek dalam metodologi ilmu sosial. Penggunaan metoda kuantitatif dan kualitatif telah makin banyak diintegrasikan dalam studi tentang tindakan manusia serta implikasi dan konsekuensinya.
Cabang-cabang ilmu sosial :
a)      Antropologi, yang mempelajari manusia pada umumnya, dan khususnya antropologi budaya, yang mempelajari segi kebudayaan masyarakat
b)      Ekonomi, yang mempelajari produksi dan pembagian kekayaan dalam masyarakat
c)      Geografi, yang mempelajari lokasi dan variasi keruangan atas fenomena fisik dan manusia di atas permukaan bumi
d)     Hukum, yang mempelajari sistem aturan yang telah dilembagakan
e)      Linguistik, yang mempelajari aspek kognitif dan sosial dari bahasa
f)       Pendidikan, yang mempelajari masalah yang berkaitan dengan belajar, pembelajaran, serta pembentukan karakter dan moral
g)      Politik, yang mempelajari pemerintahan sekelompok manusia (termasuk negara)
h)      Psikologi, yang mempelajari tingkah laku dan proses mental
i)        Sejarah, yang mempelajari masa lalu yang berhubungan dengan umat manusia
j)        Sosiologi, yang mempelajari masyarakat dan hubungan antar manusia di dalamnya

3.       Humanities (Ilmu Humaniora)
Ilmu Humaniora adalah salah satu ilmu pengetahuan yang mempelajari apa yang diciptakan atau diperhatikan manusia (dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan alam) (KBBI,1999).
Ilmu humaniora bertujuan memunculkan sosok yang humanis yakni orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan yang lebih baik, berdasarkan asas-asas perikemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama umat manusia. Secara lebih khusus, Prof. Dr. IGAK Wardani (2007) menjelaskan bahwa tujuan ilmu humaniora adalah
v  membebaskan pikiran untuk mandiri dalam menemukan, memilih, dan memanfaatkan informasi
v  membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti lebih berbudaya.
Cabang-cabang Ilmu Humaniora :
  • Bahasa
  • Sastra
  • Teologi
  • Filsafat
  • Ilmu Sejarah
  • Kesenian
D.    Pendekatan-Pendekatan Keilmuan
Dalam masyarakat akademis terdapat beberapa pandangan atau pendekatan keilmuan. Pandangan ini penting karena pandangan itu merupakan kerangka dasar dari berbagai teori dan model dalam ilmu komunikasi. Littlejohn dalam bukunya Theories of Human Communication, mengemukakan bahwa masyarakat ilmiah menurut cara pandang dan objek pokok pengamatannya dapat dibagi dalam 3 kelompok/aliran pendekatan :
1)      Pendekatan scientific (ilmiah-empiris)
2)      humanistic (humaniora-interpretatif)
3)      Pendekatan social sciences (ilmu-ilmu sosial)
Pandangan scientific, mengemukakan bahwa ilmu diasosiasikan dengan objektivitas yaitu  yang menekankan prinsip standarisasi observasi dan konsistensi. Landasan filosophisnya adalah, dunia ini pada dasarnya mempunyai bentuk dan struktur. Umumnya padandangan ini dianut oleh para ahli ilmu eksakta seperti fisika, biologi, kedokteran, matematika dan lain-lain. Ciri utama pandangan ini adalah pemisahan yang tegas antara known (objek atau  hal yang ingin diketahui dan diteliti) dan knower (subjek pelaku atau pengamat). Metode yang sering digunakan adalah metode eksperimen. Tujuan penelitiannya diarahkan pada upaya mengukur ada atau tidaknya pengaruh atau hubungan sebab akibat diantara dua variabel atau lebih dengan mengontrol pengaruh variabel lain.
Sebagai contoh : Lima ekor tikus diberikan suntikan X, sementara lima ekor tikus lainnya (yang mempunyai ciri yang sama) tidak. Setelah kurun waktu tertentu (misalnya setelah 1 bulan, 3 bulan, dan seterusnya), dibandingkan ada tidaknya perbedaan di antara kedua kelompok lima ekor tikus tersebut. Kalau ternyata terdapat perbedaan, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan tersebut terjadi karena pengaruh dari suntikan X tersebut.
Pendekatan humanistic mengasosiasikan ilmu dengan prinsip subjektivitas. Dalam konteks ilmu-ilmu sosial, salah satu bentuk metode penelitian yang lazim dipergunakan dari aliran “humanistic” ini adalah “partisipasi observasi”. Melalui metode ini, si peneliti dalam mengamati sikap dan perilaku dari orang-orang yang ditelitinya membaur dan melibatkan diri secara aktif dalam kehidupan dari orang-orang yang ditelitinya. Misalnya, bergaul, tinggal di rumah orang-orang tersebut, serta ikut serta dalam aktivitas sehari-hari mereka dalam kurun waktu tertentu (1 minggu, 1 bulan, dan seterusnya). Interpretasi atas sikap dan perilaku dari orang-orang yang ditelitinya, tidak hanya didasarkan atas informasi yang diperoleh melalui hasil wawancara atau tanya-jawab dengan orang-orang yang ditelitinya, tetapi juga atas dasar pengamatan langsung dan pengalaman berinteraksi dengan mereka.
Pandangan klasik dari aliran “humanistic” adalah bahwa cara pandang seseorang tentang sesuatu hal akan menentukan penggambaran dan uraiannya tentang hal tersebut. Karena sifatnya yang subjektif dan interpretatif, maka pendekatan aliran “humanistic” ini lazimnya cocok diterapkan untuk mengkaji persoalan-persoalan yang menyangkut sistem nilai, kesenian, kebudayaan, sejarah dan pengalaman pribadi.
Terdapat beberapa perbedaan pokok antara kedua pandangan ini :
Scientific :
a)      Ilmu bertujuan untuk menstandarisasikan obsservasasi.
b)      Tujuan ilmu adalah mengurangi perbedaan-perbedaan pandangan tentang hasil pengamatan.
c)      Memandang ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang berada disana (out there), di luat diri pengamat/peneliti.
d)     Memfokuskan perhatiannya pada dunia hasil penemuan (discovered world).
e)      Berupaya memperoleh konsensus.
f)       Membuat pemisahan yang tegas antara known dan knower.
Humanistic :
a)      Mengutamakan kreatifitas individual.
b)      Bertujuan untuk memahami tanggapan dan hasil temuan subjektif individual.
c)      Memandang ilmu pengetahuan  sebagai sesuatu yang berada di sini (in here), dalam arti berada dalam diri (pemikiran, interpretasi) pengamat/peneliti.
d)     Memfokuskan perhatiannya pada dunia para penemunya (discovering person).
e)      Mengutamakan interpretasi-interpretasi alternatif.
f)       Cenderung tidak membuat pemisahan  antara known dan knower.
Pendekatan social sciences, pada dasarnya merupakan gabungan atau kombinasi  dari pendekatan aliran scientific dan humanistic. Digunakannya kedua aliran ini oleh pendekatan ilmu sosial karena objek studi ilmu pnegetahuan sosial adalah kehidupan manusia yang memerlukan pengamatan yang cermat dan akurat. Dengan demikian pengamatan harus  seobjektif mungkin agar hasilnya dapat  berlaku umum dan tidak bersifat khusus. Mereka harus mampu mencapai kesepakatan/konsensus walaupun sifatnya relatif dalam arti dibatasi oleh faktor waktu, situasi dan kondisi tertentu. Selain itu ilmu pengetahuan sosial mengutamakan faktor  penjelasan dan interpretasi karena manusia itu manusia yang aktif dan memiliki daya pikir, berpengetahuan dan memegang prinsip dan nilai-nilai tertentu serta tindakannya dapat berubah sewaktu-waktu. Ilmu pengetahuan sosial memerlukan interpretasi objektif terhadap perilaku manusia guna menangkap makna dari tingkah laku tersebut. Seringkali perbuatan seseorang semu dalam arti tidak mencerminkan  keinginan hati sebenarnya dari orang tersebut.
Interpretasi dan penjelasan juga diperlukan karena meskipun berdasarkan ciri-ciri biologis, sosial, atau ciri-ciri lainnya manusia dapat dibagi dalam  beberapa kelompok dengan kategori-kategori tertentu, tidak berarti bahwa masing-masing baik secara individual ataupun kelompok akan mempunyai persamaan dalam hal sikap dan perilakunya. Umpamanya: 3 orang (si A, si B dan si C) semuanya memiliki beberapa karakteristik individual yang sama yakni semuanya wanita, semuanya bekerja sebagai guru sekolah dasar, dan semuanya berpendidikan tamatan SLTA. Namun demikian, ketiga orang tersebut boleh jadi masing-masing akan mempunyai perbedaan satu sama lainnya mengenai sikap dan perilakunya tentang suatu hal.
Perkembangan selanjutnya, pendekatan ilmu pengetahuan sosial secara umum terbagi dalam dua kubu: ilmu pengetahuan tingkah laku (behavioral science) dan ilmu pengetahuan sosial (social sciences). Kubu pertama umumnya menekankan pengkajian pada tingkah laku individual manusia, sedangkan kubu kedua pada interakasi antar manusia. Perbedaan pada kedua kubu itu pada dasarnya hanya menyangkut aspek permasalahan yang diamati sedangkan metode pengamatannya relatif sama.
Bidang kajian ilmu komunikasi sebagai bagian dari ilmu sosial pada dasarnya difokuskan pada pemahaman tentang bagaimana tingkah laku manusia dalam menciptakan, mempertukarkan dan menginterpretasikan pesan-pesan untuk tujuan tertentu. Namun dengan adanya dua pendekatan (scientific dan humanistic) yang diterapkan, maka muncul dua kelompok masyarakat ilmuwan komunikasi. Ada yang menerapkan pendekatan scientific seperti para ahli di bidang komunikasi interpersonal, komunikasi organisasi dan sebagainya. Dipihak lain ada yang menerapkan aliran pendekatan humanistic, misalnya para akhli komunikasi ujaran (speech communication). Pengelompokkan seperti ini, sekarang tidak jelas lagi, karena dalam prakteknya kalangan ilmuwan komunikasi interpersonal banyak juga menerapkan pendekatan humanistic, begitu juga dengan kalangan akhli komunikasi ujaran, seringkali menerapkan pendekatan scientific.










BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Istilah pengetahuan, ilmu (sains), dan filsafat pada pembahasan sebelumnya banyak disinggung sebagai bagian dari ruang lingkup pengetahuan itu sendiri. Namun demikian, meskipun ketiganya memiliki persamaan sebagai pengetahuan tetap ditemukan perbedaan-perbedaan mendasar, baik dari segi pengertian, fungsi maupun cara-cara untuk memperolehnya.
Pengetahuan sebagai pengetahuan yang benar dibicarakan dalam ranah pengetahuan ilmiah (ilmu/sains). Ilmu (sains) adalah pengetahuan yang bertujuan untuk mencapai kebenaran ilmiah tentang objek tertentu yan diperoleh melalui pendekatan, metode dan sistem tertentu. Ilmu tidak hanya berbicara tentang hakikat (ontologis) pengetahuan itu sendiri, melainkan juga mempersoalkan tentang bagaimana (epistemologis) pengetahuan tersebut dapat diproses menjadi sebuah pengetahuan yang benar-benar memiliki nilai guna (aksiologis) untuk kehidupan manusia. Oleh karenanya, perkembangan ilmu pengetahuan itu pada dasarnya bersifat dinamis.
Selain pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah (sains) yang telah dipaparkan di Atas, filsafat juga merupakan bagian penting yang turut dibicarakan dalam ranah pengetahuan, sebab filsafat merupakan bagian dari pengetahuan itu sendiri.
B.     Saran
 Sebagai penyusun, kami merasa masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca. Agar kami dapat memperbaiki makalah kami yang selanjutnya.
               
DAFTAR PUSTAKA
Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008)
Hermawan, Asep. Penelitian Bisnis: Paradigma Kuantitatif, (Jakarta: Grasindo, 2005)
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 1997), cet. ke-3
Semiawan, Conny. Theodorus Immanuel Setiawan dan Yufiarti, Panorama Filsafat Ilmu: Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman, (Bandung: Teraju, 2007), cet. ke-2
S. Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2013), Cet. ke-24..
Budiharto, Metodologi Penelitian Kesehatan: Dengan Contoh Bidang Ilmu Kesehatan Gigi, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2008), Cet. ke-1, h. 10.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006)



[1] Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 1022.
[2] Ibid, h. 574.
[3] Asep Hermawan, Penelitian Bisnis: Paradigma Kuantitatif, (Jakarta: Grasindo, 2005), h. 5.
[4] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 1997), cet. ke-3, h. 110.
[5] Asep Hermawan, op.cit, hal. 4-5.
[6] Conny Semiawan, Theodorus Immanuel Setiawan dan Yufiarti, Panorama Filsafat Ilmu: Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman, (Bandung: Teraju, 2007), cet. ke-2, h. 19.
[7] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2013), Cet. ke-24, h.120.
[8] Ibid, h.121-122.
[9] Mohammad Adib, Ibid, hal. 93-94.
[10] Budiharto, Metodologi Penelitian Kesehatan: Dengan Contoh Bidang Ilmu Kesehatan Gigi, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2008), Cet. ke-1, h. 10.
[11] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006), h. 152-155.
[12] Jujun S. Suriasumantri, op.cit, hal. 127-128.
[13] The Liang Gie, Ibid.h. 118.
[14] Jujun S. Suriasumantri, op.cit, h.142
[15] Ibid, hal. 147.
[16] The Liang Gie, op.cit, h. 141.

[17] Ibid, hal. 142-143.
[18] Ibid, hal. 144-145.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar