Selasa, 07 Maret 2017

Makalah Metodelogi Studi Islam
















METODOLOGI STUDI ISLAM




KELOMPOK: 9
IRAWATI : 140101017
RAHMATIA : 140101018




INSITUT AGAMA ISLAM (IAIM) MUHAMMADIYAH
SINJAI
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua yang berupa ilmu dan amal. Dan berkat Rahmat dan Hidayah-Nya pula, penulis dapat menyelesaikan makalah Metodologi Studi Islam
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, kritik, saran, dan masukan yang membangun sangat kami butuhkan untuk dijadikan pedoman dalam penulisan ke arah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin.










Sinjai, 10 maret  2017

                                                                      Kelompok 9
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.  Rumusan masalah...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Metodologi Studi Al-Qur’an / Tafsir............................................................... 2
B.     metodologi studi hadist ................................................................................. 7
C.     metodologi studi fikih...................................................................................14
D.    metodologi studi ilmu kalam....................................................................... 16
E.     metodologi tasawuf..........................................................................................20
BAB III PENUTUp
A.  Kesimpulan...............................................................................................22
B.  Saran....................................................................................................... .22
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................23







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Melakukan sebuah penelitian kita mesti mengetahui teori atau metode apa yang akan kita gunakan. Sebuah penelitian akan melahirkan suatu hipotesis dan itu harus dibangun berdasarkan teori serta landasan yang kuat yang didapat dari fakta yang diperoleh. Tanpa menggunakan metode, data dan fakta yang kita peroleh tidaklah memiliki ilmu pengetahuan didalamnya.Teori penelitian terdapat dalam metode bersamaan dengan pendekatan-pendekatan penelitian. Tugas utama setiap peneliti adalah mencari metode atau pendekatan apa yang akan digunakannya dalam penelitiannya Oleh sebab itu penulis akan  membahas beberapa metode dalam melakukan sebuah penelitian. Diataranya, metodologi Al-Qur’an dan tafsir, Metodologi Fikih, Metodologi Tasawuf dan Metodologi kalam.
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian metodologi, Al-Qur’an dan tafsir, hadist, fikih, tasawuf dan kalam ?
2.      Apa itu metodologi Al-Qur’an dan tafsir, hadist, fikih, tasawuf dan kalam ?

BAB II
PEMBAHASAN
METODOLOGI STUDI ISLAM
A.      Metodologi Studi Al-Qur’an / Tafsir
1.      Pengertian Metodologi Studi Al-Qur’an / Tafsir
Metodologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “Metoda” dan “Logi”. “Metoda” artinya cara yang tepat untuk melakukan sesuatu. ” logi” berasal dari kata “Logos” artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi metodologi artinya suatu ilmu yang membicarakan cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan atau menguasai kompetensi tertentu.
Al-Qur’an Secara etimologi, Al-Qur’an berasal dari kata “qara’a, yaqra’u, qira’atan, atau qur’anan” yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dhammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian yang lain secara teratur. Sedangkan pengertian Al-Qur’an dari segi terminologinya dapat dipahami dari pandangan beberapa ulama berikut:[1]
a.       Muhammad Salim muhsin mengemukakan dalam bukunya Tarikh Al-Qur’an Al-Karim Menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammmad SAW yang tertulis dalam mushaf-mushaf dan dinukilkan /diriwayatkan kepada kita dengan jalan yang mutawatir dan membacanya dipandang ibadah serta sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) walaupun surat terpendek.
b.      Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Al-Qur’an sebagai firman Allah SWT yang diturunkan melalui jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan bahasa Arab, isinya dijamin kebenarannya.
c.       uhammad Abduh mendefinisikan Al-Qur’an sebagai kalam yang diturunkan oleh Allah kepada yang paling sempurna (muhammad SAW), ajarannya mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan.
tafsir Secara etimologis, tafsir berasal dari bahasa Arab, yaitu fassara[2], yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian. Selain itu tafsir dapat pula berarti al-idlab wa al-tabyin yaitu penjelasan dan keterangan. Secara terminologis pengertian tafsir dikemukakan pakar Al-Qur’an dalam tampil formulasi berbeda-beda, namun esensinya sama seperti berikut:
a.       Al-Jurjani mengatakan bahwa tafsir adalah menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya, baik konteks, historisnya maupun sebab An-nuzulnya.
b.      Imam Al-Zarqani tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan Al-Qur’an baik segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah menurut kadar kesanggupan manusia
c.       Al-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah. Dari pendapat para pakar Al-Qur’an di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir ialah ilmu yang menjelaskan tentang cara mengucapkan lafadh-lafadh Al Qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinannya ketika dalam keadaan tersusun.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Metodologi Tafsir Al-Quran (manâhij al-mufassiriin) adalah Ilmu yang membahas tentang jalan dan cara yang dipakai oleh setiap Mufassir dalam menafsirkan Al Qur’an, dimana dengannya dapat diketahui secara jelas akan perbedaan antara satu Mufassir dengan yang lainnya dari aspek sumber pengambilan, cara penyampaian dan orientasinya, kemudian kita kembalikan penafsiran mereka kepada syariat dan kaedah-kaedah baku yang telah disepakati oleh jumhur ulama.
2.      Latar Belakang Dilakukan Studi / Penelitian
a.         Terjadinya gabungan dari tiga sumber yaitu penafsiran Rasulullah SAW, penafsiran para sahabat dan penafsiran para tabi’in.
b.         semakin pesatnya perkembangan agama islam dikalangan masyarakat sehingga muncullah atau beredarnya hadis-hadis palsu dan lemah dikalangan masyarakat. Semantara perubahan sosial semakin menonjol dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa nabi Muhammad SAW, para sahabat dan tabi’in.
c.         sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an sehingga bermunculan berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.
Senada dengan ini, Sanusi Lathef mengungkapkan bahwa akibat munculnya beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa nabi Muhammad SAW, para sahabat dan para tabi’in maka penelitian tafsir ini berfungsi sebagai pedoman dalam mencari penyelesaian persoalan yang terjadi saat sekarang ini.
3.      Tujuan Studi / Penelitian Tafsir
a.         Sebagai salah satu ayat untuk dapat memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan sebaik-baiknya
b.         Agar dapat memahami arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an itu, agar kita dapat melaksanakan petunjuk-petunjuk, ajaran-ajaran, peraturan-peraturan, dan hukum-hukum yang dibawa Al-Qur’an itu dalam kehidupan kita sehari-hari
4.      Ruang Lingkup Studi / Penelitian Tafsir
Dengan semakin mapannya kajian keislaman, kata tafsir menemukan[3] kompleksitasnya sebagai sebuah istilah akademik yang tidak hanya mencakup makna dalam lingkup aspek penjelasan terhadap al-Qur’an, tetapi lebih merupakan istilah bagi disiplin keilmuan yang terkait dengan kajian Al-Qur’an secara umum. Kesan akan kompleksitas makna tafsir secara terminologis dapat dilihat dalam defenisi yang Abu Hayyan, yang memaknai tafsir sebagai “ilmu yang membahas tentang tatacara melafalkan ayat-ayat al-Qur’an, makna dan hukum-hukumnya baik yang berdiri sendiri (ifrad) maupun yang terbentuk dalam sebuah struktur kalimat (tarkibiyyah), juga makna-makna yang ditunjukkan oleh sebab bentukan sintaksis tadi serta segala kelengkapan yang terkait dengan itu.”
Objek pembahasan tafsir, yaitu al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam. Kitab suci ini menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkernbangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu gerakan-gerakan ummat Islam sepanjang lima belas abad sejarah pergerakan umat ini. Bersarkan kedudukan dan peran Al-Qur’an tersebut Qurasy Shihab mengatakan jika demikian halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan sangat besar bagi maju mundurnya ummat. Sekaligus penafsiran¬-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.”
5.      Metode Studi / Penelitian Tafsir
Quraish Shihab, dalam membumikan Al-Qur’an, membagi tafsir[4] dengan melihat corak dan metodenya menjadi; tafsir yang bercorak ma’tsur dan tafsir yang menggunakan metode penalaran.
Berikut ini akan penulis jelaskan metode-metode tafsir dengan mengikuti pola pembagian Al-Farmawi.
a.         Metode Tafsir Tahlily
Metode Tafsir Tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Penafsiran memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Metode Tahlily kebanyakan dipergunakan para ulama masa-masa klasik dan pertengahan. Di antara mereka, sebagian mengikuti pola pembahasan secara panjang lebar (ithnab), sebagian mengikuti pola singkat (ijaz) dan sebagian mengikuti pula secukupnya (musawah). Mereka sama-sama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode tahlily, namun dengan corak yang berbeda.
b.         Metode Tafsir Ijmaly
Metode Tafsir Ijmaly adalah suatu metode Tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Di dalam sistematika uraiannya, penafsir akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam mushaf; kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut.
c.         Metode Tafsir Muqaran
Yang dimaksud dengan metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh sejumlah para mufassir. Objek kajian tafsir dengan metode muqaran dapat dikelompokkan kepada tiga, yaitu:
·           Perbandingan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain
·           Perbandingan ayat Al-Qur’an dengan hadits
·           Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir yang lain.
d.        Metode Tafsir Maudhu’i
Metode tafsir Maudhu’iy juga disebut dengan dengan metode tematik[5] yaitu menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti, sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologis serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Tafsir Maudhu’iy mempunyai dua bentuk, yaitu:
a.         Tafsir yang membahas satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.
b.        Tafsir yang menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara Maudhu’iy.
6.      Pendekatan dalam Studi / Penelitian Tafsir
Dalam rangka menjelaskan isi pesan kitab suci, tafsir menggunakan [6]berbagai pendekatan sesuai dengan disiplin ilmu. Imam suprayayogo mengemukakan ada beberapa pendekatan dalam penelitian tafsir sebagai berikut yaitu: 1. Pendekatan sastra bahasa. 2. Pendekatan filosofis. Pendekatan teologis. Pendekatan ilmiah. Pendekatan fiqih atau hukum. Pendekatan tasawuf. Pendekatan sosiologi dan . pendekatan kultural. Pendekatan ini digunakan agar penafsiran yang dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman dalam kebudayaannya dari ajaran agama atau Al-Qur’an.
Adapun metode penafsiran yang berkembang dalam tradisi intelektual islam dan cukup populer, yaitu tahlily, ijmaly, muqaron, dan maudhu’i. Abuddin nata juga membahas tentang bagaimana memahami Al-Qur’an atau dengan kata lain mengenai cara-cara memahami al-qur’an. Dia mengemukakan dua bahasan yaitu:
a.         Konsep ma’qul dan ghairu ma’qul dalam ibadah dan muamalah.
Konsep ma’qul dan ghairu ma’qul dalam ibadah dan muammalah. Dari segi penerapan hukum, sebagian besar kandungan nas Al-Qur’an dianggap zanni dan hanya sebagian kecil yang masih diterima sebagai qath’i.
b.         Pemahaman kontekstual.
Yang dimaksud dengan pemahaman kontekstual adalah upaya memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan aspek sejarah ayat itu, sehingga nampak gagasan atau maksud yang sesungguhnya dari setiap yang digagaskan dalam Al-Qur’an.
7.      Contoh Model Studi / Penelitian Tafsir
Model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan atau macam dari penyelidikan secara seksama terhadap penafsiran Al-Qur’an yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal yang terkait dengannya.
a.         Model Quraish Shihab. Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh Quraisy Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analitis dan perbandingannya. Selanjutnya dengan tidak memfokuskan pada tokoh tertentu, Quraish Shihab telah meneliti hampir seluruh karya tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu. Dari penelitian tersebut telah dihasilkan beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan tafsir. Antara lain tentang:
·           periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir,
·           corak-corak penafsiran
·           macam-macam metode penafsiran Al-Qur’an,
·           syarat-syarat dalam menafsirkan al- Qur’an,
·           hubungan tafsir modernisasi.
b.         Model Ahmad Al-Syarbashi Pada tahun 1985 Ahmad Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir dengana menggunakan metode deskriptif eksploratif dan analisis sebagaimana halnya yang dilakukan Quraish Shihab. Sumber yang digunakan adalah bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang ditulis para ulama tafsir. Hasil penelitiannya itu mencakup tiga bidang:
·           mengenai sejarah penafsiran al-Qur’an yang dibagi ke dalam Tafsir pada masa Sahabat Nabi.
·           mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah, tafsir sufi dan tafsir politik.
·           mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir.
c.         Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Sebagaimana para peneliti tafsir lainnya Muhammad Al-Ghazali menempuh cara penelitian tafsir yang bercorak eksploratif deskriptif dan analitis dengan berdasar pada rujukan kitab-kitab tafsir yang ditulis ulama terdahulu.
B.       Metodologi Studi Hadist
1.      Pengertian Hadits
Secara etimologis Hadits berarti baru, lawan dari lama dekat/baru terjadi, perkataan, cerita, atau berita. Sedangkan secara terminologi, Hadits dapat diartikan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, dan pernyataan (taqrir)[7][1]
Ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri pada umumnya mendefinisikan hadist sebagai segala sabda, perbuatan, taqrir (ketetapan), dan hal ikhwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Masuk ke dalam pengertian “hal ikhwal” segala yang diriwayatkan dalam kitab-kita tarikh, seperti hal kelahirannya, tempatnya, dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diutus maupun sesudah diutus. Berdasarkan definisi tersebut, maka bentuk-bentuk Hadits dapat dibedakan sebagai berikut: 1. sabda, 2. perbuatan, 3. taqrir, dan 4. hal ikhwal Nabi saw. Kalangan ulama Ushul mendefinisikan hadits sebagai segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi saw. yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu, tidak masuk dalam kategori hadits sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum seperti urusan pakaian.
2.      Macam-Macam Hadits
a.         Hadits Qouly
Hadits Qouly ini sering juga dinamakan khabar, atau berita berupa perkataan Nabi saw. yang didengar atau disampaikan oleh seorang atau beberapa orang sahabat kepada yang lain
b.         Hadits Fi’ly
Yaitu setiap perbuatan yang dilakukan Nabi saw. yang diketahui dan disampaikan oleh sahabat kepada orang lain.
c.         Hadits Taqririy
Yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan Nabi saw. Atau sepengetahuan Nabi, namun Nabi diam dan tidak mencegahnya, maka sikap diam dan tidak mencegahnya, menunjukan persetujuan Nabi. Hal ini karena kalau Nabi tidak setuju, tentuNabi tidak akan membiarkan sahabatnya berbuat atau mengatakan yang salah, karena Nabiitu Ma'sum (terjaga dari berbuan dan menyetujuan sahabat berbuat kemunkaran, karenamembiarkan dan menyetujuan atas kemunkaran sama dengan berbuat kemunkaran.
3.      Metode Takhrij Hadits
Mencari sebuah hadits tidaklah sama dan semudah mencari ayat al[8]-Qur'an. Untuk mencari ayat al-Qur'an cukup dengan sebuah kamus seperti al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur'an al-Karim dan sebuah mushaf al-Qur'an. Sedangkan hadits, karena ia terhimpun dalam banyak kitab, diperlukkan waktu yang lebih lama untuk menelusurinya sampai sumber asalnya. Meskipun begitu, para ulama hadits telah menulis kitab-kitab yang dapat membantu seorang peneliti hadits dalam rangka kegiatan takhrij. Tetapi, hanya sedikit yang sampai kepada kita. Kitab-kitab yang dapat dijumpai hanya¬lah merupakan alat bantu, seperti al-Jami' al-Shaghir, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, Miftah Kunuz al-Sunnah, kitab-kitab al-Athraf, dan lain-lainnya.  Mengenai cara-cara mentakhrij hadits, al-Mahdi dan al-Thahhan mengemukakan lima metode takhrij sebagai berikut.
a.         Takhrij Melalui Periwayat Pertama (Al-Rawi Al-A'la)
Takhrij dengan metode ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengetahui secara pasti perawi pertamanya, baik dari kalangan Sahabat ataupun tabi'in. Langkah perta¬ma dari metode ini adalah mengenal nama perawi pertama dari hadits yang akan ditakhrij. Langkah berikutnya adalah mencari nama perawi yang diinginkan dari kitab-kitab al-Athraf atau Musnad. Bila nama perawi pertama yang dicari telah ditemukan, kemudian dicari hadits yang diinginkan di antara hadits-hadits yang tertera di bawah nama perawi tersebut. Bila sudah ditemukan, maka akan diketahui ulama hadits yang meriwayatkannya.
Kitab yang membantu untuk kegiatan takhrij berda¬sarkan metode ini adalah kitab-kitab al-Athraf dan Musnad. Al-Athraf adalah himpunan hadits yang berasal dari kitab induknya di mana yang dicantumkan hanyalah bagian atau potongan hadits dari setiap hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat atau tabi'in. Di antara kitab-kitab al-Athraf yang terkenal adalah Athraf al-Shahihain karya Imam Abu Mas'ud Ibrahim ibn Muhanmmad ibn Ubaid al-Dimasyq, Athraf al-Kutub al-Sittah karya Syamsuddin Abu al-Fadhli Muhammad ibn Tahin ibn Ahmd al-Maqdisi, Al-Isyraf 'ala ma'rifah al-Athraf karya Abu al-Qasim Ali ibn Abi Muhammad al-Hasan al-Dimasyq, Tuhfat al-Asyraf bi Ma'rifat al-Asyraf karya Jamal al-din Abu al-Hajjaz Yusuf ibn 'Abd al-Rahman.
Keunggulan metode ini: cepat sampai pada sahabat yang meriwayatkan hadis krn alfabetis, Kekurangannya: lama sampai pada hadis yg dicari jika sahabat tsb. banyak meriwayatkan hadist.
b.         Takhrij melalui Lafadz pertama Matan Hadits
Penggunaan metode didasarkan atas lafadz pertama matan hadits. Melalui metode ini, pentakhrij terlebih dahulu menghimpun lafadz pertama hadits berdasarkan huruf-huruf hijaiyah. Setelah pentakhrij mengetahui lafadz pertama yang terletak dalam hadits tersebut, selanjutnya ia mencari lafadz itu dalam kitab-kitab takhrij yang disusun sesuai dengan metode ini berdasarkan huruf perta¬ma, huruf kedua dan seterusnya. Contoh, hadits yang berbunyi “man ghasyaanaa falaisa minna” Langkah pertama, karena lafadz pertamanya adalah “man”, maka pentakhrij harus mencarinya pada bab mim ( Ù… ). Langkah kedua mencari huruf nun ( Ù† ) setelah mim ( Ù… ) tersebut. Ketiga, mencari huruf-huruf selanjutnya yang mengiringinya, yaitu ghain ( غ ), dan demikian seterusnya.
Kitab-kitab yang dapat digunakan untuk mentakhrij dengan metode ini di antaranya adalah al-Jami' al-Kabir karya Imam Suyuthi, al-Jami' al-Azhar karya al-Manawi, al-Jami' al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nazhir karya Jalaluddin al-Suyuthi. Dalam kitab al-Jami' al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nazhir, Jalaluddin al-Suyuthi menghimpun dan menyusun hadits-hadits yang diatur berdasarkan urutaan huruf hijaiyyah, mulai dari huruf alif, ba', ta', dan seterusnya.
Dalam menjelaskan kualitas hadits, kitab ini meng¬gunakan rumus-rumus sebagai berikut: “Shahha” untuk hadits berkualitas shahih; Ø­ untuk hadits berkualitas hasan; dan ض untuk hadits berkualitas dla'if. Sedangkan untuk kode mukharrij dari hadits yang bersangkutan digunakan kode Ø® untuk Bukhari, Ù… untuk Muslim, مح untuk Ahmad, ت untuk Turmuzhi.
c.         Takhrij Melalui Penggalan Kata-Kata Yang Tidak Banyak Diungkap dalam Lisan
Menurut Mahmud al-Thahhan, mentakhrij hadits dengan metode ini dapat menggunakan kitab al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi karya A.J. Wensinck yang di¬terjemahkan oleh Muhammd Fuad 'Abd al-Baqi. Kitab ini merujuk kepada kitab-kitab yang menjadi sumber pokok hadits, yaitu Kutub al-Sittah, al-Muwaththa', Musnad Imam Ahmad, dan Musnad al-Darimi.
Cara penggunaan kitab al-Mu'jam di atas dapat dilihat pada jilid 7 bagian permulaan. Di sana akan dipe¬roleh penjelasan tentang bagaimana menggunakan kitab ini secara mudah. Dua hal penting yang perlu dijelaskan di sini adalah pemberian kode nama yang dijadikan sumber rujukan, misalnya  محuntuk Ahmad, ت untuk Turmuzhi, هج untuk Ibn Majjah, ىم untuk Darimi; dan penjelasan tentang kitab atau bab dan halaman kitab yang dirujuk, misalnya Musnad Ahmad, nomor setelah rumus/kode terdapat dua ben¬tuk: nomor kecil menunjukkan jilid dan nomor besar menun¬jukkan halaman dari kitab yang dimaksud. Kelebihan metode ini di antaranya:
1)      mempercepat pencarian hadits;
2)      membatasi hadits-haditsnya pada kitab-kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz', bab, dan halaman
3)      memungkinkan pencarian hadits melalui kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits.
Sedangkan kekurangannya:
1)      pentakhrij harus memi¬liki kemampuan berbahasa Arab beserta perangkat-perangkat ilmunya, karena metode ini menuntut untuk mengembalikan kata kuncinya kepada kata dasar;
2)      terkadang suatu hadits tidak dapat ditemukan dengan satu kata kunci, sehingga pentakhrij harus mencarinya dengan menggunakan kata-kata yang lain. 
d.      Takhrij berdasarkan topik hadits
Seorang pentakhrij boleh saja tidak terikat dengan bunyi atau lafadz matan hadits yang ditakhrijnya, tetapi berupaya memahami melalu topiknya. Upaya penelusurannya memerlukan kitab atau kamus yang dapat memberikan penjela¬san riwayat hadits melalui topik yang telah ditentukan.
Di antara kitab yang dapat membantu kegiatan takhrij dengan metode ini adalah Miftah Kunuz al-Sunnah, al-Jawami' al-Shahih, al-Mustadrak 'ala Shahihain, Jam'u al-Fawaid min Jam'i al-Ushul wa Majma' al-Zawaid.
Menurut Mahmud al-Thahhan, kitab hadits yang dijadikan acuan oleh kitab-kitab di atas jumlahnya banyak sekali. Di antaranya, Kutub al-Sittah, al-Muwaththa', Musnad Ahmad, Sunan al-Darimi, Musnad Zaid ibn Al, Sirah ibn Hisyam, Maghazi al-Waqidi, dan Thabaqah ibn Sa'ad.
Keunggulan metode ini di antaranya adalah:
1)      metode ini mendidik ketajaman pemahaman terhadap hadits pada diri pentakhrij;
2)      metode ini dapat memperkenalkan pentakhrij dengan hadits-hadits lain yang senada dengan hadits yang dicari.
Sedangkan kelemahannya:
1)      Terkadang kandungan hadits itu sulit disimpulkan oleh pentakhrij sehingga tidak dapat ditentukan temanya. Akibatnya ia tidak mungkin menggunakan metode ini, apalagi kalau topik yang dikandung hadits itu lebih dari satu;
2)      Terkadang pemahaman pen¬takhrij tidak sesuai dengan pemahamaan penyusun kitab, karena penyusun kitab meletakkan suatu hadits pada topik yang tidak diduga oleh pentakhrij.

e.       Takhrij berdasarkan status hadits
Melalui kitab-kitab tertentu, para ulama berupaya menyusun hadits-hadits berdasarkan statusnya, seperti hadits qudsi, masyhur, mursal, dan lain-lain.  Kelebihan metode ini dapat memudahkan proses takhrij, karena hadits-hadits yang diperlihatkan berdasarkan statusnya jumlahnya sangat sedikit dan tidak rumit. Meskipun demikian, keku¬rangannya tetap ada yaitu terbatasnya kitab-kitab yang memuat hadits menurut statusnya. Di antara kitab yang disusun menurut metode ini adalah: al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah karya Suyuthi, yang memuat hadits-hadits mutawatir; al-Ittihafath al-Saniah fi al-Ahadits al-Qudsiyah karya al-Madani yang memuat hadits-hadits qudsi; al-Maqashid al-Hasanah karya Sakhawi yang memuat hadits-hadits populer; al-Marasil karya Abu Daud yang memuat hadits-hadits mursal; Tanzih al-Syari'ah al-Marfu'ah 'an al-Akhbar al-Syani'ah al-Maudlu'ah karya Ibn Iraq yang memuat hadits-hadits maudlu
C.       Metodologi Fikih
1.     Pengertian fikih
Ilmu fikih merupakan pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Contohnya, segala amal yang berhubungan dengan ibadah, mu’amalat, kepidanaan, dan sebagainya. Ilmu Fikih memiliki dalil-dalil terperinci yang merupakan satuan-satuan dalil yang masing-masing menunjukkan kepada suatu hukum tertentu. [9]
2.     Model-model Penelitian Hukum Islam
a.        Model Harun Nasution
Harun Nasution telah berhasil mendeskripsikan struktur Hukum Islam secara konprehensif. Melalui pendekatan sejarah beliau membagi perkembangan hukum Islam ke dalam 4 periode, yaitu periode Nabi, periode sahabat, periode ijtihad serta kemajuan dan periode taklid serta kemunduran. Dengan demikian model penelitian yang digunakan Harun Nasution adalah penelitian eksploratif, deskriptif, dengan menggunakan pendekatan kesejarahan.
b.       Model Noel J. Coulson
Dalam penelitiannya Coulson menggunakan pendekatan historis. Melalui penelitiannya hukum Islam ditempatkan sebagai perangkat norma dari perilaku teratur dan merupakan suatu lembaga sosial dengan memenuhi kebutuhan manusia akan kedamaian dalam masyarakat.
c.       Model Mohammad Atho  Mudzhar
Atho Mudzhar melakukan penelitian hukum Islam menggunakan penelitian uji teori atau uji asumsi (hipotesis) yang berlandaskan kepada teori yang terdapat dalam ilmu sosiologi hukum. Permasalahan hukum yang terdapat dalam lingkungan sosial sering berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, kriminalitas, masalah perkawinan, dan masalah sosial lainnya. 
3.     Objek Penelitian Fikih
Objek dan ruang lingkup fikih adalah perbuatan orang-orang mukallaf tentang orang-orang yang dibebani ketetapan-ketetapan hukum agama Islam. 
Menurut Ta’rif ahli ilmu ushul yang dibicarakan oleh fikih adalah [10]segala pekerjaan para mukallaf dari jurusan hukum hidup. Adapun hasil pembicaraan atau mahmulnya adalah salah satu hukum yang lima, yaitu hukum ta’rif yang lima: Ijab (wajib), Nadab (anjuran/sunnah), Tahrim (haram), Karahah (makruh), dan Ibahah (mubah)
Dengan demikian, ruang lingkup penelitian fikih aadalah perbuatan mukallaf menurut apa yang telah ditetapkan syara’ tentang ketentuan hukumnya.
4.     Metodologi Penelitian Hukum Islam
a.       Metode Normatif Islami[11]
Objek penelitian disini adalah asas-asas, doktrin, konsep, sistematika dan substansi hukum Islam yang bersumber pada Al-quran dan Sunnah baik menurut klasik maupun kontenporer.
b.      Metode Empiris Islami
1)      Sosiologi, Objek penelitian mengenai bagaimana implementasi syari’ah dalam masyarakat Islam. Peneliti harus menghindari sikap prasangka negatif. Dalam penelitian ini yang ditampilkan bukan segi-segi yang bersifat konflik antara hukum Islam dengan masyarakat, melainkan sgi-segi positifnya.
2)      Historis, Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dapat dijadikan objek penelitian. 
c.        Metode Filosofi Islam
Hukum Islam sebagai jalinan nilai-nilai Islami diteliti secara falsafi (filosofis). 
d.      Metode komparatif Islami
Penelitian ini menggunakan metode perbandingan hukum Islam sebagai tolak ukur. Perbandingan hukum dapat diteliti secara internal antara aliran-aliran hukum Islam (perbandingan mazhab).
e.        Metode Interpretatif Islami
Dalam penelitian ini peran ijtihad dan kedudukannya sebagai sumber hukum Islam sangat penting diperhatikan.
f.       Metode Pembukuan Garis Hukum
Suatu ayat hukum dalam Al-quran dipecah menjadi beberapa garis hukum yang dirumuskan masing-masing secara alfabetis, dengan cara ini orang dengan mudah dapat mempelajari pembahasan ilmu hukum Islam yang ingin diteliti. 
D.    Metedologi Studi Qalam
1.      Pengertian Ilmu Kalam
Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana dikutip A. Hanafi, Ilmu Kalam ialah ilmu berisi alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan Ahli Sunnah.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang mesti tidak ada pada-Nya, serta sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya, dan membicarakan pula tentang rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat  yang mesti tidak ada padanya, serta sifat-sifat yang mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya.
2.      Pengembangan Ilmu Kalam
Ilmu kalam dapat dikembangkan melalui berbagai cara, antara lain :
a.        Pengembangan teoritis-epistemologis
Secara toeri ilmu kalam sudah dipaparkan di atas. Ilmu kalam[12] terbentuk sebagai ilmu tersendiri pada abad ke-2 H (8M), tepatnya pada masa al-Makmun setelah ulama Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, para ahli menganggap pendiri ilmu ini adalah kelompok Mu’tazilah. Melalui terjemahan-terjemahan itu, mereka mempertemukan cara (sistem) filsafat dengan sistem ilmu kalam. Sejak saat itu pula dipakailah perkataan al-kalam untuk ilmu yang berdiri sendiri.
Proses terbentuknya ilmu kalam sangat terkait dengan situasi politik pasca terbunuhnya Usman. Saat itu kaum muslimin terpecah-terpecah menjadi beberapa partai yang masing-masing merasa sebagai pihakyang benar dan menganggap calon dari golongannyayang berhak menjadi pimpinan umat Islam. Kemudian partai-partai itu menjadi partai agama dan mengemukakan dalil-dalil agama untuk membela pendiriannya, dan selanjutnya perselisihan diantara mereka menjadi perselisihan agama, dan berkisar pada soal iman dan kafir. Menurut segolongan kecil umat Islam saat itu, Usman melakukan kesalahan dalam memimpin, bahkan kafir. Pembunuhnya berada pada pihak yang benar. Sebaliknya pihak lain mengatakan pembunuh Usman telah melakukan kejahatan besar. Oleh karena itu, mereka berdosa besar dan kafir, mengingat Usman adalah pemimpin umat Islam yang syah. Dari sinilah mulai timbul presoalan besar yang selama inimemenuhi buku-buku keislaman, yaitu persoalan dosa besar, iman dan hakikatnya, dan persoalankepemimpinan. Dari persoalan dosa besar kemudian muncul persoalan sumber kejahatan atau sumber perbuatan, apakah semata-mata dari manusia atau dari Tuhan. Dari persoalan ini muncul golongan Jabariyyah dan Qadariyyah, di samping Mu’tazilah dan Asy’ariyyah.
3.    Aliran-Aliran Ilmu Kalam
Dalam Ilmu Kalam terdapat berbagai aliran, diantaranya sebagai berikut :
a.        Kaum Khawarij
Khawarij timbul dari kalangan pasukan Sayyidina Ali tatkala terjadi perang hebat-hebatnya perang antara Ali dan Mu’awiyah di [13]Shiffin. Mu’awiyah merasa kewalahan dan bermaksud melarikan diri. Kemudian timbul pemikiran tahkim. Pasukannya mengangkat al-Qur’an sebagai isyarat agar tahkim dengan al-Qur’an. Pihak Ali tetap bertempur terus. Lalu ada sebagian pengikut Ali meminta kepadanya agar mau menerima tahkim. Akhirnya Ali menerima Tahkim dengan rasa terpaksa. Kemudian diperoleh kesepakatan masing-masing mengangkat seorang hakim. Mu’awiyah memilih Amr ibn al-Ash. Semula Ali sendiri bermaksud memilih Abdullah bin Abbas, tetapi orang-orang khawarij ini menghendaki Abu Musa al-Asy’ari. Tahkim bermaksud dengan berkesudahan turunnya sayyidina Ali dari khalifah dan tetapnya Mu’awiyah, yang berarti kemenangan baginya.
b.      Kaum Murjiah
Murjiah berasal dari bahasa Arab yang artinya menunda ; atau dari kata yang berarti mengharapkan. Murjiah adalah bentuk isim fail dari kata tersebut diatas, berarti orang yang menunda atau orang yang mengharapkan. Dalam arti yang pertama dimaksudkan berarti golongan atau faham yang menanggungkan keputusan sesuatu hal (mulanya, persoalan orang yang berbuat dosa besar) nanti kelak di kemudian hari di sisi Allah. Sedang pengertian dalam arti yang kedua, dimaksud dengan Murjiah ialah golongan yang mengharapkan ampunan dari Tuhan atas kesalahan dan dosanya (asal persoalannya adalah orang mukmin yang berbuat dosa besar, mati sebelum ia bertaubat).
c.       Golongan Qadariyah dan Jabariyah
Golongan Qadariyah adalah golongan yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kehendaknya ; manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya ; manusia mempunyai kebebasan    dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan –perbuatannya. Pengertian [14]Qadariyah di sini bukan berasal dari pengertian bahwa manusia itu terpaksa tunduk kepada qadar Allah. Sebaliknya golongan Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia terikat kepada mutlak Tuhan.
d.      Kaum Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham Qadariyah, yaitu faham yang mengingkari taqdir Allah ; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya.
4.      Menangkap Substansi Ilmu Kalam
Ontologi atau pokok pembahasan ilmu kalam adalah segala pengetahuan yang berkaitan dengan penetapan akidah keagamaan secara dekat (langsung) maupun jauh (tidak langsung). Oleh karena itu dalam ilmu kalam dibahas tentang zat Allah dengan segala permasalahannya termasuk sifat dan perbuatan Allah baik di dunia seperti kebaruan alam dan di akhirat seperti ahri kebangkitan serta hukum-uhkum-Nya seperti pengutusan Rasul, pahala-dosa.
Sementara aksiologinya atau faedah ilmu kalam adalah meningkatkan keyakinan para pengkajinya, membimbing pengkajinya dengan argumentasi yang kuat, menjaga kaidah agama dari kerancuan, menjadi dasar ilmu-ilmu syari’at, dan meluruskan niat serta keyakinan para pengkajinya.
5.      Pengembangan Praktis-Metodologis Ilmu Kalam
Dua buah prinsip yang ditawarkan oleh Feyerabend, yakni prinsip pengembangbiakan dan prinsip apa saja boleh (anything goes) sudah[15] selayaknya dipergunakan untuk  melakukan penelitian dalam wilayah ilmu kalam. Prinsip pengembangbiakan bukan aturan metodologis melainkan suatu prinsip bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak dapat dicapai dengan mengikuti metode atau teori tunggal. Kemajuan ilmu pengetahuan akan dicapai dengan membiarkan teori-teori yang beraneka ragam dan berbeda satu sama lain berkembang sendiri-sendiri. Prinsip ini dapat dipergunakan untuk studi-studi kalam kontemporer sehingga setiap pengkaji dapat secara sadar memaknai doktrin-doktrin kalam sesuai dengan pengalaman keagamaan dan situasi sosialnya sendiri. Dengan begitu, maka orang tidak lagi saling mengkafirkan dan merasa dirinya paling benar. Dengan begitu pula, pluralisme teori ataupun pluralisme metodologi dalam segala riset ilmu kalam dapat dibenarkan untuk dilakukan.
Berdasarkan atas prinsip kebebasan ini pula, maka pengembangan ilmu kalam merupakan tugas yang tidak pernah berakhir. Penelitian untuk pengembangan ilmu kalam harus dilakukan secara terus-menerus. Sebagai ilmu, ilmu kalam tidak bisa lepas dari teori Brown yang mengatakan bahwa pengembangan sutau ilmu harus melalui continuing research. Pandangan Brown ini menjadi dasar bahwa pengembangan ilmu kalam harus dilakukan terus-menerus dengan mengerahkan segala upaya termasuk menggunakan disiplin ilmu lain dan keragaman metodenya demi terwujudnya ilmu kalam yang dinamis dan hidup.
Berdasarkan atas prinsip kebebasan metodis ini, maka sosiologi pengetahuan bermanfaat bagi pengayaan metodis penelitian ilmu kalam. Ilmu kalam sudah selayaknya dilihat dengan berbagai cara (apa saja boleh), asalkan semua cara itu dilakukan dengan bertanggung jawab dan dapat memperluas perspektif para pengkaji. Hanya dengan cara memperbanyak perspektif inilah akan terwujud ilmu kalam yang ramah terhadap segala keragaman dan problematika kehidupan manusia. Di samping itu, ilmu kalam yang multi perspektif juga akan mudah diterima semua kalangan karena dinamika dan kelenturannya yang tinngi ketika harus bersentuhan dengan realitas masyarakat.
E.   Metodologi Tasawuf
1.      Pengertian tasawuf
Tasawuf adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang [16]atau bagaimana cara kita mendekatkan diri kepada tuhan, tanpa adanya paksaan yang dating dari luar maupun dari dalam diri sendiri, sehingga seseorang tersebut merasa sangat dekat dengan tuhannya, tidak ada hal lain yang lebih berharga dibandingkan menghambakan diri pada tuhan. seperti halnya kehidupan para sufi. 
Metode penelitian tasawuf, mempergunakan metode penelitian ilmu-ilmu sosial, terutama analisis kesejarahan dan pendekatan phenomenology (verstehen). Penelitian yang menggunakan pendekatan phenomenology atau verstehen harus mengerti dengan keadaan objek.
2.      Tujuan dan Karakteristik Tasawwuf[17]
Tujuan tasawuf bukanlah ubntuk mendapatlkan pengetahuan intuitif tentang kenyataan, tetapi untuk menjadi abdi Allah.
Karakter tasawuf menurut Al-Tafzani ada lima,
o   Peningkatan moral
o   Pemenuhan fana dalam realistis mutlak
o   engetahuan intuitif langsung
o   Timbulnua rasa kebahagian karena karunia Tuhan
o   Penggunaan simbol-simbol dalam pengungkapan perasaan yang mengandung pengertian harfiah maupun tersirat 
3.       Model-model Penelitian Tasawwuf
a.       Model Sayyed Husain Nasr
Penelitian kualitatif dengan pendekatan tematik yang berdasarkan studi kritis terhadap ajaran tasawuf.
b.      Model Mustafa Zahri
Bersifat eksploratif yang menekan pada taswuf berdasarkan literature yang ditulis oleh para Ulama terdahuludengan mencari sandaran kepada Al-quran dan Hadits.
c.       Model Kautsar Azhari Noor
Studi tentang tokoh dengan pahamnya yang khas.
d.      Model Harun Nasution
Penelitian menggunakan pendekatan tematik yang bersifat deskriptif.
e.       Model A.J. Arberry
Penelitian yang menggunakan pendektan kombinasi antara pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh. 



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
metodologi artinya suatu ilmu yang membicarakan cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan atau menguasai kompetensi tertentu
Quraish Shihab, dalam membumikan Al-Qur’an, membagi tafsir[18] dengan melihat corak dan metodenya menjadi; tafsir yang bercorak ma’tsur dan tafsir yang menggunakan metode penalaran
Takhrij hadits pada dasarnya hanyalah langkah awal dari penelitian hadits. Di antara langkah-langkah penting berikutnya yang harus dilakukan dalam kerangka penelitian hadits adalah kritik matan (naqd al-matn) dan kritik sanad.
Metode penelitian tasawuf, mempergunakan metode penelitian ilmu-ilmu sosial. Tujuan tasawuf bukanlah ubntuk mendapatlkan pengetahuan intuitif tentang kenyataan, tetapi untuk menjadi abdi Allah.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat Tuhan yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya, dan sifat yang mungkin ada pada-Nya, dan membicarakan tentang rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya dan sifat-sifat yang tidak ada padanya, serta sifat yang mungkin terdapat padanya.
B.     Saran dan kritik
              Sebagai penyusun, kami merasa masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca. Agar kami dapat memperbaiki makalah yang selanjutnya.





DAFTAR PUSTAKA

Ramayulis, Metodologi Pendidkan Agama Islam, (Jakarta:Kalam Mulia,2005), h.4
Sanusi Latief, Pengantar Tafsir, (Jilid II, Padang, 1982). h. 14
Rosniati Hakim, Metodologi studi Islam II, (padang:Hayfa Press,2009),h.53.
http://jasafa dilahginting.blogspot.com/2011/01/metodologi-tafsir-al-quran.html
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002). h.73
 [1] Tim Penyusun IAIN SA, Pengantar Studi Islam, IAIN Ampel Press: Surabaya 2009 hal.41
Abuddin, Nata, Ilmu fikih,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.),h. 53.
Ibid h. 54
Rosniati, Hakim, Metodologi Studi Islam II.( Padang: Hayfa Press, 2009).h.78.
Machasin. Epistemologi Kalam Abad Pertengahan. (Yogyakarta: LkiS.2003)
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam : Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), h. 135
Mukhyar Fanani, Metodologi Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengatahuan sebagai Cara Pandang, h. 137-138.
Abuddin,Natan Ilmu Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995)h.15.
Muhamimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam,(Jakarta: Kencana, 2005.) h.60.
http://jasafa dilahginting.blogspot.com/2011/01/metodologi-tafsir-al-quran.html



[1]Ramayulis, Metodologi Pendidkan Agama Islam, (Jakarta:Kalam Mulia,2005), h.4
[2] Sanusi Latief, Pengantar Tafsir, (Jilid II, Padang, 1982). h. 14
[3] Rosniati Hakim, Metodologi studi Islam II, (padang:Hayfa Press,2009),h.53.
[4]  http://jasafa dilahginting.blogspot.com/2011/01/metodologi-tafsir-al-quran.html
[6] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002). h.73
[7][1] Tim Penyusun IAIN SA, Pengantar Studi Islam, IAIN Ampel Press: Surabaya 2009 hal.41

[9] Abuddin, Nata, Ilmu fikih,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.),h. 53.

[10] Ibid h. 54
[11] Rosniati, Hakim, Metodologi Studi Islam II.( Padang: Hayfa Press, 2009).h.78.
[12] Machasin. Epistemologi Kalam Abad Pertengahan. (Yogyakarta: LkiS.2003)
[13] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam : Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), h. 135.

[14] Ibid, h. 136
[15] Mukhyar Fanani, Metodologi Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengatahuan sebagai Cara Pandang, h. 137-138.
[16] Abuddin,Natan Ilmu Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995)h.15.

[17] Muhamimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam,(Jakarta: Kencana, 2005.) h.60.

[18]  http://jasafa dilahginting.blogspot.com/2011/01/metodologi-tafsir-al-quran.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar