METODOLOGI STUDI ISLAM
KELOMPOK: 9
IRAWATI : 140101017
RAHMATIA : 140101018
INSITUT AGAMA ISLAM (IAIM) MUHAMMADIYAH
SINJAI
KATA PENGANTAR
Puji syukur
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua yang berupa ilmu dan amal. Dan berkat
Rahmat dan Hidayah-Nya pula, penulis dapat menyelesaikan makalah Metodologi Studi Islam
Kami menyadari
bahwa makalah ini masih terdapat banyak terdapat banyak kekurangan. Akhirnya,
kritik, saran, dan masukan yang membangun sangat kami butuhkan untuk dijadikan
pedoman dalam penulisan ke arah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
Sinjai, 10 maret 2017
Kelompok 9
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Rumusan masalah...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Metodologi Studi Al-Qur’an / Tafsir............................................................... 2
B.
metodologi studi hadist .................................................................................
7
C.
metodologi studi fikih...................................................................................14
D.
metodologi studi ilmu
kalam....................................................................... 16
E.
metodologi tasawuf..........................................................................................20
BAB III PENUTUp
A. Kesimpulan...............................................................................................22
B. Saran....................................................................................................... .22
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................23
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Melakukan sebuah penelitian kita mesti mengetahui teori atau metode apa
yang akan kita gunakan. Sebuah penelitian akan melahirkan suatu hipotesis dan
itu harus dibangun berdasarkan teori serta landasan yang kuat yang didapat dari
fakta yang diperoleh. Tanpa menggunakan metode, data dan fakta yang kita
peroleh tidaklah memiliki ilmu pengetahuan didalamnya.Teori penelitian terdapat
dalam metode bersamaan dengan pendekatan-pendekatan penelitian. Tugas
utama setiap peneliti adalah mencari metode atau pendekatan apa yang akan
digunakannya dalam penelitiannya Oleh sebab itu penulis akan membahas beberapa metode dalam melakukan
sebuah penelitian. Diataranya, metodologi Al-Qur’an dan tafsir, Metodologi
Fikih, Metodologi Tasawuf dan Metodologi kalam.
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin
terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk
agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber
ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan
kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi
kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial,
menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas,
egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan
persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian metodologi,
Al-Qur’an dan tafsir, hadist, fikih, tasawuf dan kalam ?
2.
Apa itu metodologi
Al-Qur’an dan tafsir, hadist, fikih, tasawuf dan kalam ?
BAB II
PEMBAHASAN
METODOLOGI STUDI ISLAM
A. Metodologi
Studi Al-Qur’an / Tafsir
1. Pengertian
Metodologi Studi Al-Qur’an / Tafsir
Metodologi
berasal dari bahasa Yunani yaitu “Metoda” dan “Logi”. “Metoda” artinya cara
yang tepat untuk melakukan sesuatu. ” logi” berasal dari kata “Logos” artinya
ilmu atau pengetahuan. Jadi metodologi artinya suatu ilmu yang membicarakan
cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan atau menguasai kompetensi
tertentu.
Al-Qur’an
Secara etimologi, Al-Qur’an berasal dari kata “qara’a, yaqra’u, qira’atan, atau
qur’anan” yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dhammu)
huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian yang lain secara
teratur. Sedangkan pengertian Al-Qur’an dari segi terminologinya dapat dipahami
dari pandangan beberapa ulama berikut:[1]
a. Muhammad
Salim muhsin mengemukakan dalam bukunya Tarikh Al-Qur’an Al-Karim Menyatakan
bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammmad SAW
yang tertulis dalam mushaf-mushaf dan dinukilkan /diriwayatkan kepada kita
dengan jalan yang mutawatir dan membacanya dipandang ibadah serta sebagai penentang
(bagi yang tidak percaya) walaupun surat terpendek.
b. Abdul
Wahab Khalaf mendefinisikan Al-Qur’an sebagai firman Allah SWT yang diturunkan
melalui jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan bahasa Arab, isinya dijamin
kebenarannya.
c. uhammad
Abduh mendefinisikan Al-Qur’an sebagai kalam yang diturunkan oleh Allah kepada
yang paling sempurna (muhammad SAW), ajarannya mencakup keseluruhan ilmu
pengetahuan.
tafsir
Secara etimologis, tafsir berasal dari bahasa Arab, yaitu fassara[2],
yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian. Selain
itu tafsir dapat pula berarti al-idlab wa al-tabyin yaitu penjelasan dan
keterangan. Secara terminologis pengertian tafsir dikemukakan pakar Al-Qur’an
dalam tampil formulasi berbeda-beda, namun esensinya sama seperti berikut:
a. Al-Jurjani
mengatakan bahwa tafsir adalah menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an dari
berbagai seginya, baik konteks, historisnya maupun sebab An-nuzulnya.
b. Imam
Al-Zarqani tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan Al-Qur’an baik segi pemahaman
makna atau arti sesuai dikehendaki Allah menurut kadar kesanggupan manusia
c. Al-Zarkasyi
mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan
kitabullah. Dari pendapat para pakar Al-Qur’an di atas dapat disimpulkan bahwa
tafsir ialah ilmu yang menjelaskan tentang cara mengucapkan lafadh-lafadh Al
Qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri
sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinannya ketika dalam
keadaan tersusun.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa Metodologi Tafsir Al-Quran (manâhij al-mufassiriin)
adalah Ilmu yang membahas tentang jalan dan cara yang dipakai oleh setiap
Mufassir dalam menafsirkan Al Qur’an, dimana dengannya dapat diketahui secara
jelas akan perbedaan antara satu Mufassir dengan yang lainnya dari aspek sumber
pengambilan, cara penyampaian dan orientasinya, kemudian kita kembalikan
penafsiran mereka kepada syariat dan kaedah-kaedah baku yang telah disepakati
oleh jumhur ulama.
2. Latar
Belakang Dilakukan Studi / Penelitian
a.
Terjadinya gabungan dari tiga sumber yaitu penafsiran
Rasulullah SAW, penafsiran para sahabat dan penafsiran para tabi’in.
b.
semakin pesatnya perkembangan agama islam dikalangan
masyarakat sehingga muncullah atau beredarnya hadis-hadis palsu dan lemah dikalangan
masyarakat. Semantara perubahan sosial semakin menonjol dan timbullah beberapa
persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa nabi Muhammad
SAW, para sahabat dan tabi’in.
c.
sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang
dan bertambah besar porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat
Al-Qur’an sehingga bermunculan berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka
ragam coraknya.
Senada dengan ini, Sanusi Lathef mengungkapkan bahwa akibat munculnya beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa nabi Muhammad SAW, para sahabat dan para tabi’in maka penelitian tafsir ini berfungsi sebagai pedoman dalam mencari penyelesaian persoalan yang terjadi saat sekarang ini.
Senada dengan ini, Sanusi Lathef mengungkapkan bahwa akibat munculnya beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa nabi Muhammad SAW, para sahabat dan para tabi’in maka penelitian tafsir ini berfungsi sebagai pedoman dalam mencari penyelesaian persoalan yang terjadi saat sekarang ini.
3. Tujuan
Studi / Penelitian Tafsir
a.
Sebagai salah satu ayat untuk dapat memahami dan
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan sebaik-baiknya
b.
Agar dapat memahami arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an
itu, agar kita dapat melaksanakan petunjuk-petunjuk, ajaran-ajaran,
peraturan-peraturan, dan hukum-hukum yang dibawa Al-Qur’an itu dalam kehidupan
kita sehari-hari
4. Ruang
Lingkup Studi / Penelitian Tafsir
Dengan
semakin mapannya kajian keislaman, kata tafsir menemukan[3]
kompleksitasnya sebagai sebuah istilah akademik yang tidak hanya mencakup makna
dalam lingkup aspek penjelasan terhadap al-Qur’an, tetapi lebih merupakan
istilah bagi disiplin keilmuan yang terkait dengan kajian Al-Qur’an secara
umum. Kesan akan kompleksitas makna tafsir secara terminologis dapat dilihat
dalam defenisi yang Abu Hayyan, yang memaknai tafsir sebagai “ilmu yang
membahas tentang tatacara melafalkan ayat-ayat al-Qur’an, makna dan
hukum-hukumnya baik yang berdiri sendiri (ifrad) maupun yang terbentuk dalam
sebuah struktur kalimat (tarkibiyyah), juga makna-makna yang ditunjukkan oleh
sebab bentukan sintaksis tadi serta segala kelengkapan yang terkait dengan
itu.”
Objek
pembahasan tafsir, yaitu al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam. Kitab suci
ini menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkernbangan dan pengembangan
ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu gerakan-gerakan
ummat Islam sepanjang lima belas abad sejarah pergerakan umat ini. Bersarkan
kedudukan dan peran Al-Qur’an tersebut Qurasy Shihab mengatakan jika demikian
halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an, melalui
penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan sangat besar bagi maju mundurnya
ummat. Sekaligus penafsiran¬-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan
serta corak pemikiran mereka.”
5. Metode
Studi / Penelitian Tafsir
Quraish
Shihab, dalam membumikan Al-Qur’an, membagi tafsir[4]
dengan melihat corak dan metodenya menjadi; tafsir yang bercorak ma’tsur dan
tafsir yang menggunakan metode penalaran.
Berikut ini akan penulis jelaskan metode-metode tafsir dengan mengikuti pola pembagian Al-Farmawi.
Berikut ini akan penulis jelaskan metode-metode tafsir dengan mengikuti pola pembagian Al-Farmawi.
a.
Metode Tafsir Tahlily
Metode Tafsir
Tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan
ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir
mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf.
Penafsiran memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan
penjelasan mengenai arti global ayat. Metode Tahlily kebanyakan dipergunakan
para ulama masa-masa klasik dan pertengahan. Di antara mereka, sebagian
mengikuti pola pembahasan secara panjang lebar (ithnab), sebagian mengikuti
pola singkat (ijaz) dan sebagian mengikuti pula secukupnya (musawah). Mereka
sama-sama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode tahlily, namun dengan corak yang
berbeda.
b.
Metode Tafsir Ijmaly
Metode Tafsir Ijmaly
adalah suatu metode Tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara
mengemukakan makna global. Di dalam sistematika uraiannya, penafsir akan
membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam mushaf; kemudian
mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut.
c.
Metode Tafsir Muqaran
Yang dimaksud dengan
metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh
sejumlah para mufassir. Objek kajian tafsir dengan metode muqaran dapat dikelompokkan
kepada tiga, yaitu:
·
Perbandingan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain
·
Perbandingan ayat Al-Qur’an dengan hadits
·
Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir
yang lain.
d.
Metode Tafsir Maudhu’i
Metode tafsir
Maudhu’iy juga disebut dengan dengan metode tematik[5] yaitu
menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti,
sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologis
serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Tafsir Maudhu’iy mempunyai dua bentuk,
yaitu:
a.
Tafsir yang membahas satu surat secara menyeluruh dan
utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan
korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak
dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.
b.
Tafsir yang menghimpun sejumlah ayat dari berbagai
surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut
disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu tema bahasan, dan
selanjutnya ditafsirkan secara Maudhu’iy.
6. Pendekatan
dalam Studi / Penelitian Tafsir
Dalam
rangka menjelaskan isi pesan kitab suci, tafsir menggunakan [6]berbagai
pendekatan sesuai dengan disiplin ilmu. Imam suprayayogo mengemukakan ada
beberapa pendekatan dalam penelitian tafsir sebagai berikut yaitu: 1.
Pendekatan sastra bahasa. 2. Pendekatan filosofis. Pendekatan teologis.
Pendekatan ilmiah. Pendekatan fiqih atau hukum. Pendekatan tasawuf. Pendekatan
sosiologi dan . pendekatan kultural. Pendekatan ini digunakan agar penafsiran
yang dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman dalam kebudayaannya dari ajaran
agama atau Al-Qur’an.
Adapun
metode penafsiran yang berkembang dalam tradisi intelektual islam dan cukup
populer, yaitu tahlily, ijmaly, muqaron, dan maudhu’i. Abuddin nata juga
membahas tentang bagaimana memahami Al-Qur’an atau dengan kata lain mengenai
cara-cara memahami al-qur’an. Dia mengemukakan dua bahasan yaitu:
a.
Konsep ma’qul dan ghairu ma’qul dalam ibadah dan
muamalah.
Konsep ma’qul dan
ghairu ma’qul dalam ibadah dan muammalah. Dari segi penerapan hukum, sebagian
besar kandungan nas Al-Qur’an dianggap zanni dan hanya sebagian kecil yang masih
diterima sebagai qath’i.
b.
Pemahaman kontekstual.
Yang dimaksud dengan
pemahaman kontekstual adalah upaya memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan
aspek sejarah ayat itu, sehingga nampak gagasan atau maksud yang sesungguhnya
dari setiap yang digagaskan dalam Al-Qur’an.
7. Contoh
Model Studi / Penelitian Tafsir
Model
penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan atau macam dari
penyelidikan secara seksama terhadap penafsiran Al-Qur’an yang pernah dilakukan
generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal yang
terkait dengannya.
a.
Model Quraish Shihab. Model penelitian tafsir yang
dikembangkan oleh Quraisy Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif,
analitis dan perbandingannya. Selanjutnya dengan tidak memfokuskan pada tokoh
tertentu, Quraish Shihab telah meneliti hampir seluruh karya tafsir yang
dilakukan para ulama terdahulu. Dari penelitian tersebut telah dihasilkan beberapa
kesimpulan yang berkenaan dengan tafsir. Antara lain tentang:
·
periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir,
·
corak-corak penafsiran
·
macam-macam metode penafsiran Al-Qur’an,
·
syarat-syarat dalam menafsirkan al- Qur’an,
·
hubungan tafsir modernisasi.
b.
Model Ahmad Al-Syarbashi Pada tahun 1985 Ahmad
Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir dengana menggunakan metode
deskriptif eksploratif dan analisis sebagaimana halnya yang dilakukan Quraish
Shihab. Sumber yang digunakan adalah bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang
ditulis para ulama tafsir. Hasil penelitiannya itu mencakup tiga bidang:
·
mengenai sejarah penafsiran al-Qur’an yang
dibagi ke dalam Tafsir pada masa Sahabat Nabi.
·
mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah, tafsir
sufi dan tafsir politik.
·
mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir.
c.
Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Sebagaimana para
peneliti tafsir lainnya Muhammad Al-Ghazali menempuh cara penelitian tafsir
yang bercorak eksploratif deskriptif dan analitis dengan berdasar pada rujukan
kitab-kitab tafsir yang ditulis ulama terdahulu.
B. Metodologi
Studi Hadist
1. Pengertian
Hadits
Secara
etimologis Hadits berarti baru, lawan dari lama dekat/baru terjadi, perkataan,
cerita, atau berita. Sedangkan secara terminologi, Hadits dapat diartikan segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, dan pernyataan (taqrir)[7][1]
Ahli
hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di
kalangan ulama hadits sendiri pada umumnya mendefinisikan hadist sebagai segala
sabda, perbuatan, taqrir (ketetapan), dan hal ikhwal yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad saw. Masuk ke dalam pengertian “hal ikhwal” segala yang
diriwayatkan dalam kitab-kita tarikh, seperti hal kelahirannya, tempatnya, dan
yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diutus maupun sesudah diutus.
Berdasarkan definisi tersebut, maka bentuk-bentuk Hadits dapat dibedakan
sebagai berikut: 1. sabda, 2. perbuatan, 3. taqrir, dan 4. hal ikhwal
Nabi saw. Kalangan ulama Ushul mendefinisikan hadits sebagai segala perkataan,
perbuatan, dan taqrir Nabi saw. yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu,
tidak masuk dalam kategori hadits sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan
hukum seperti urusan pakaian.
2. Macam-Macam
Hadits
a.
Hadits Qouly
Hadits Qouly ini
sering juga dinamakan khabar, atau berita berupa perkataan Nabi saw. yang
didengar atau disampaikan oleh seorang atau beberapa orang sahabat kepada yang
lain
b.
Hadits Fi’ly
Yaitu setiap
perbuatan yang dilakukan Nabi saw. yang diketahui dan disampaikan oleh sahabat
kepada orang lain.
c.
Hadits Taqririy
Yaitu perbuatan atau
ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan Nabi saw. Atau sepengetahuan Nabi,
namun Nabi diam dan tidak mencegahnya, maka sikap diam dan
tidak mencegahnya, menunjukan persetujuan Nabi. Hal ini karena kalau Nabi
tidak setuju, tentuNabi tidak akan membiarkan sahabatnya berbuat atau
mengatakan yang salah, karena Nabiitu Ma'sum (terjaga dari berbuan dan
menyetujuan sahabat berbuat kemunkaran, karenamembiarkan dan menyetujuan atas kemunkaran
sama dengan berbuat kemunkaran.
3. Metode
Takhrij Hadits
Mencari
sebuah hadits tidaklah sama dan semudah mencari ayat al[8]-Qur'an.
Untuk mencari ayat al-Qur'an cukup dengan sebuah kamus seperti al-Mu'jam
al-Mufahras li Alfadz al-Qur'an al-Karim dan sebuah mushaf al-Qur'an. Sedangkan
hadits, karena ia terhimpun dalam banyak kitab, diperlukkan waktu yang lebih
lama untuk menelusurinya sampai sumber asalnya. Meskipun begitu, para ulama
hadits telah menulis kitab-kitab yang dapat membantu seorang peneliti hadits
dalam rangka kegiatan takhrij. Tetapi, hanya sedikit yang sampai kepada kita.
Kitab-kitab yang dapat dijumpai hanya¬lah merupakan alat bantu, seperti
al-Jami' al-Shaghir, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi,
Miftah Kunuz al-Sunnah, kitab-kitab al-Athraf, dan lain-lainnya. Mengenai cara-cara mentakhrij hadits,
al-Mahdi dan al-Thahhan mengemukakan lima metode takhrij sebagai berikut.
a.
Takhrij Melalui Periwayat Pertama (Al-Rawi Al-A'la)
Takhrij dengan metode ini dapat
dilakukan dengan terlebih dahulu mengetahui secara pasti perawi pertamanya,
baik dari kalangan Sahabat ataupun tabi'in. Langkah perta¬ma dari metode ini
adalah mengenal nama perawi pertama dari hadits yang akan ditakhrij. Langkah
berikutnya adalah mencari nama perawi yang diinginkan dari kitab-kitab
al-Athraf atau Musnad. Bila nama perawi pertama yang dicari telah ditemukan,
kemudian dicari hadits yang diinginkan di antara hadits-hadits yang tertera di
bawah nama perawi tersebut. Bila sudah ditemukan, maka akan diketahui ulama
hadits yang meriwayatkannya.
Kitab yang membantu untuk kegiatan
takhrij berda¬sarkan metode ini adalah kitab-kitab al-Athraf dan Musnad.
Al-Athraf adalah himpunan hadits yang berasal dari kitab induknya di mana yang
dicantumkan hanyalah bagian atau potongan hadits dari setiap hadits yang
diriwayatkan oleh Sahabat atau tabi'in. Di antara kitab-kitab al-Athraf yang
terkenal adalah Athraf al-Shahihain karya Imam Abu Mas'ud Ibrahim ibn Muhanmmad
ibn Ubaid al-Dimasyq, Athraf al-Kutub al-Sittah karya Syamsuddin Abu al-Fadhli
Muhammad ibn Tahin ibn Ahmd al-Maqdisi, Al-Isyraf 'ala ma'rifah al-Athraf karya
Abu al-Qasim Ali ibn Abi Muhammad al-Hasan al-Dimasyq, Tuhfat al-Asyraf bi
Ma'rifat al-Asyraf karya Jamal al-din Abu al-Hajjaz Yusuf ibn 'Abd al-Rahman.
Keunggulan metode ini: cepat sampai
pada sahabat yang meriwayatkan hadis krn alfabetis, Kekurangannya: lama sampai
pada hadis yg dicari jika sahabat tsb. banyak meriwayatkan hadist.
b.
Takhrij melalui Lafadz pertama Matan Hadits
Penggunaan metode didasarkan atas
lafadz pertama matan hadits. Melalui metode ini, pentakhrij terlebih dahulu
menghimpun lafadz pertama hadits berdasarkan huruf-huruf hijaiyah. Setelah
pentakhrij mengetahui lafadz pertama yang terletak dalam hadits tersebut,
selanjutnya ia mencari lafadz itu dalam kitab-kitab takhrij yang disusun sesuai
dengan metode ini berdasarkan huruf perta¬ma, huruf kedua dan seterusnya.
Contoh, hadits yang berbunyi “man
ghasyaanaa falaisa minna” Langkah pertama, karena lafadz pertamanya adalah “man”, maka pentakhrij harus mencarinya
pada bab mim ( Ù… ). Langkah kedua mencari huruf nun ( Ù† ) setelah mim ( Ù… ) tersebut. Ketiga, mencari huruf-huruf
selanjutnya yang mengiringinya, yaitu ghain ( غ ), dan demikian seterusnya.
Kitab-kitab yang dapat digunakan
untuk mentakhrij dengan metode ini di antaranya adalah al-Jami' al-Kabir karya
Imam Suyuthi, al-Jami' al-Azhar karya al-Manawi, al-Jami' al-Shaghir min Hadits
al-Basyir al-Nazhir karya Jalaluddin al-Suyuthi. Dalam kitab al-Jami'
al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nazhir, Jalaluddin al-Suyuthi menghimpun dan
menyusun hadits-hadits yang diatur berdasarkan urutaan huruf hijaiyyah, mulai
dari huruf alif, ba', ta', dan seterusnya.
Dalam menjelaskan kualitas hadits,
kitab ini meng¬gunakan rumus-rumus sebagai berikut: “Shahha” untuk hadits berkualitas shahih; Ø
untuk hadits berkualitas hasan; dan ض untuk
hadits berkualitas dla'if. Sedangkan untuk kode mukharrij dari hadits yang
bersangkutan digunakan kode Ø® untuk Bukhari, Ù… untuk Muslim, Ù…Ø untuk
Ahmad, ت untuk Turmuzhi.
c.
Takhrij Melalui Penggalan Kata-Kata Yang Tidak Banyak
Diungkap dalam Lisan
Menurut Mahmud al-Thahhan, mentakhrij hadits dengan metode ini dapat
menggunakan kitab al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi karya
A.J. Wensinck yang di¬terjemahkan oleh Muhammd Fuad 'Abd al-Baqi. Kitab ini
merujuk kepada kitab-kitab yang menjadi sumber pokok hadits, yaitu Kutub
al-Sittah, al-Muwaththa', Musnad Imam Ahmad, dan Musnad al-Darimi.
Cara penggunaan kitab al-Mu'jam di atas dapat dilihat pada jilid 7 bagian
permulaan. Di sana akan dipe¬roleh penjelasan tentang bagaimana menggunakan
kitab ini secara mudah. Dua hal penting yang perlu dijelaskan di sini adalah
pemberian kode nama yang dijadikan sumber rujukan, misalnya Ù…Øuntuk
Ahmad, ت untuk Turmuzhi, هج untuk Ibn Majjah, ىم untuk
Darimi; dan penjelasan tentang kitab atau bab dan halaman kitab yang dirujuk,
misalnya Musnad Ahmad, nomor setelah rumus/kode terdapat dua ben¬tuk: nomor
kecil menunjukkan jilid dan nomor besar menun¬jukkan halaman dari kitab yang
dimaksud. Kelebihan metode ini di antaranya:
1) mempercepat
pencarian hadits;
2) membatasi
hadits-haditsnya pada kitab-kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz',
bab, dan halaman
3) memungkinkan
pencarian hadits melalui kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits.
Sedangkan kekurangannya:
1) pentakhrij
harus memi¬liki kemampuan berbahasa Arab beserta perangkat-perangkat ilmunya,
karena metode ini menuntut untuk mengembalikan kata kuncinya kepada kata dasar;
2) terkadang
suatu hadits tidak dapat ditemukan dengan satu kata kunci, sehingga pentakhrij
harus mencarinya dengan menggunakan kata-kata yang lain.
d.
Takhrij berdasarkan topik hadits
Seorang pentakhrij boleh saja tidak terikat dengan bunyi atau lafadz matan
hadits yang ditakhrijnya, tetapi berupaya memahami melalu topiknya. Upaya
penelusurannya memerlukan kitab atau kamus yang dapat memberikan penjela¬san
riwayat hadits melalui topik yang telah ditentukan.
Di antara kitab yang dapat membantu kegiatan takhrij dengan metode ini
adalah Miftah Kunuz al-Sunnah, al-Jawami' al-Shahih, al-Mustadrak 'ala
Shahihain, Jam'u al-Fawaid min Jam'i al-Ushul wa Majma' al-Zawaid.
Menurut Mahmud al-Thahhan, kitab hadits yang dijadikan acuan oleh
kitab-kitab di atas jumlahnya banyak sekali. Di antaranya, Kutub al-Sittah,
al-Muwaththa', Musnad Ahmad, Sunan al-Darimi, Musnad Zaid ibn Al, Sirah ibn
Hisyam, Maghazi al-Waqidi, dan Thabaqah ibn Sa'ad.
Keunggulan
metode ini di antaranya adalah:
1)
metode ini mendidik ketajaman pemahaman terhadap
hadits pada diri pentakhrij;
2)
metode ini dapat memperkenalkan pentakhrij dengan
hadits-hadits lain yang senada dengan hadits yang dicari.
Sedangkan
kelemahannya:
1)
Terkadang kandungan hadits itu sulit disimpulkan oleh
pentakhrij sehingga tidak dapat ditentukan temanya. Akibatnya ia tidak mungkin
menggunakan metode ini, apalagi kalau topik yang dikandung hadits itu lebih
dari satu;
2)
Terkadang pemahaman pen¬takhrij tidak sesuai dengan
pemahamaan penyusun kitab, karena penyusun kitab meletakkan suatu hadits pada
topik yang tidak diduga oleh pentakhrij.
e.
Takhrij berdasarkan status hadits
Melalui kitab-kitab
tertentu, para ulama berupaya menyusun hadits-hadits berdasarkan statusnya,
seperti hadits qudsi, masyhur, mursal, dan lain-lain. Kelebihan metode ini dapat memudahkan proses
takhrij, karena hadits-hadits yang diperlihatkan berdasarkan statusnya
jumlahnya sangat sedikit dan tidak rumit. Meskipun demikian, keku¬rangannya
tetap ada yaitu terbatasnya kitab-kitab yang memuat hadits menurut statusnya.
Di antara kitab yang disusun menurut metode ini adalah: al-Azhar
al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah karya Suyuthi, yang memuat
hadits-hadits mutawatir; al-Ittihafath al-Saniah fi al-Ahadits al-Qudsiyah
karya al-Madani yang memuat hadits-hadits qudsi; al-Maqashid al-Hasanah karya
Sakhawi yang memuat hadits-hadits populer; al-Marasil karya Abu Daud yang
memuat hadits-hadits mursal; Tanzih al-Syari'ah al-Marfu'ah 'an al-Akhbar
al-Syani'ah al-Maudlu'ah karya Ibn Iraq yang memuat hadits-hadits maudlu
C. Metodologi Fikih
1. Pengertian fikih
Ilmu
fikih merupakan pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at Islam mengenai
perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Contohnya, segala amal yang berhubungan dengan ibadah, mu’amalat,
kepidanaan, dan sebagainya. Ilmu Fikih memiliki dalil-dalil terperinci yang
merupakan satuan-satuan dalil yang masing-masing menunjukkan kepada suatu hukum
tertentu. [9]
2. Model-model Penelitian Hukum Islam
a. Model
Harun Nasution
Harun Nasution telah
berhasil mendeskripsikan struktur Hukum Islam secara konprehensif. Melalui
pendekatan sejarah beliau membagi perkembangan hukum Islam ke dalam 4 periode,
yaitu periode Nabi, periode sahabat, periode ijtihad serta kemajuan dan periode
taklid serta kemunduran. Dengan demikian model penelitian yang digunakan Harun
Nasution adalah penelitian eksploratif, deskriptif, dengan menggunakan
pendekatan kesejarahan.
b. Model Noel J. Coulson
Dalam penelitiannya
Coulson menggunakan pendekatan historis. Melalui penelitiannya hukum Islam
ditempatkan sebagai perangkat norma dari perilaku teratur dan merupakan suatu
lembaga sosial dengan memenuhi kebutuhan manusia akan kedamaian dalam
masyarakat.
c. Model
Mohammad Atho Mudzhar
Atho Mudzhar
melakukan penelitian hukum Islam menggunakan penelitian uji teori atau uji
asumsi (hipotesis) yang berlandaskan kepada teori yang terdapat dalam ilmu
sosiologi hukum. Permasalahan hukum yang terdapat dalam lingkungan sosial
sering berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, kriminalitas, masalah
perkawinan, dan masalah sosial lainnya.
3. Objek
Penelitian Fikih
Objek
dan ruang lingkup fikih adalah perbuatan orang-orang mukallaf tentang
orang-orang yang dibebani ketetapan-ketetapan hukum agama Islam.
Menurut
Ta’rif ahli ilmu ushul yang dibicarakan oleh fikih adalah [10]segala
pekerjaan para mukallaf dari jurusan hukum hidup. Adapun hasil pembicaraan atau
mahmulnya adalah salah satu hukum yang lima, yaitu hukum ta’rif yang lima: Ijab
(wajib), Nadab (anjuran/sunnah), Tahrim (haram), Karahah (makruh), dan Ibahah
(mubah)
Dengan
demikian, ruang lingkup penelitian fikih aadalah perbuatan mukallaf menurut apa
yang telah ditetapkan syara’ tentang ketentuan hukumnya.
4. Metodologi
Penelitian Hukum Islam
a. Metode
Normatif Islami[11]
Objek penelitian
disini adalah asas-asas, doktrin, konsep, sistematika dan substansi hukum Islam
yang bersumber pada Al-quran dan Sunnah baik menurut klasik maupun kontenporer.
b. Metode
Empiris Islami
1) Sosiologi,
Objek penelitian mengenai bagaimana implementasi syari’ah dalam masyarakat
Islam. Peneliti harus menghindari sikap prasangka negatif. Dalam penelitian ini
yang ditampilkan bukan segi-segi yang bersifat konflik antara hukum Islam
dengan masyarakat, melainkan sgi-segi positifnya.
2) Historis,
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dapat dijadikan objek
penelitian.
c. Metode Filosofi Islam
Hukum Islam sebagai
jalinan nilai-nilai Islami diteliti secara falsafi (filosofis).
d. Metode
komparatif Islami
Penelitian ini
menggunakan metode perbandingan hukum Islam sebagai tolak ukur. Perbandingan
hukum dapat diteliti secara internal antara aliran-aliran hukum Islam
(perbandingan mazhab).
e. Metode Interpretatif Islami
Dalam penelitian ini
peran ijtihad dan kedudukannya sebagai sumber hukum Islam sangat penting
diperhatikan.
f. Metode
Pembukuan Garis Hukum
Suatu ayat hukum
dalam Al-quran dipecah menjadi beberapa garis hukum yang dirumuskan
masing-masing secara alfabetis, dengan cara ini orang dengan mudah dapat
mempelajari pembahasan ilmu hukum Islam yang ingin diteliti.
D. Metedologi
Studi Qalam
1. Pengertian Ilmu Kalam
Menurut
Ibn Khaldun, sebagaimana dikutip A. Hanafi, Ilmu Kalam ialah ilmu berisi
alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan
menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang
menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan Ahli Sunnah.
Muhammad
Abduh berpendapat bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang wujud
Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang mesti
tidak ada pada-Nya, serta sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya, dan
membicarakan pula tentang rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan
mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang mesti
tidak ada padanya, serta sifat-sifat yang mungkin ada padanya dan sifat-sifat
yang mungkin terdapat padanya.
2. Pengembangan Ilmu Kalam
Ilmu kalam dapat
dikembangkan melalui berbagai cara, antara lain :
a.
Pengembangan
teoritis-epistemologis
Secara
toeri ilmu kalam sudah dipaparkan di atas. Ilmu kalam[12]
terbentuk sebagai ilmu tersendiri pada abad ke-2 H (8M), tepatnya pada masa
al-Makmun setelah ulama Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, para ahli menganggap
pendiri ilmu ini adalah kelompok Mu’tazilah. Melalui terjemahan-terjemahan itu,
mereka mempertemukan cara (sistem) filsafat dengan sistem ilmu kalam. Sejak
saat itu pula dipakailah perkataan al-kalam untuk ilmu yang berdiri
sendiri.
Proses
terbentuknya ilmu kalam sangat terkait dengan situasi politik pasca terbunuhnya
Usman. Saat itu kaum muslimin terpecah-terpecah menjadi beberapa partai yang
masing-masing merasa sebagai pihakyang benar dan menganggap calon dari
golongannyayang berhak menjadi pimpinan umat Islam. Kemudian partai-partai itu
menjadi partai agama dan mengemukakan dalil-dalil agama untuk membela
pendiriannya, dan selanjutnya perselisihan diantara mereka menjadi perselisihan
agama, dan berkisar pada soal iman dan kafir. Menurut segolongan kecil umat
Islam saat itu, Usman melakukan kesalahan dalam memimpin, bahkan kafir.
Pembunuhnya berada pada pihak yang benar. Sebaliknya pihak lain mengatakan
pembunuh Usman telah melakukan kejahatan besar. Oleh karena itu, mereka berdosa
besar dan kafir, mengingat Usman adalah pemimpin umat Islam yang syah. Dari
sinilah mulai timbul presoalan besar yang selama inimemenuhi buku-buku
keislaman, yaitu persoalan dosa besar, iman dan hakikatnya, dan
persoalankepemimpinan. Dari persoalan dosa besar kemudian muncul persoalan
sumber kejahatan atau sumber perbuatan, apakah semata-mata dari manusia atau
dari Tuhan. Dari persoalan ini muncul golongan Jabariyyah dan Qadariyyah, di
samping Mu’tazilah dan Asy’ariyyah.
3.
Aliran-Aliran Ilmu Kalam
Dalam Ilmu
Kalam terdapat berbagai aliran, diantaranya sebagai berikut :
a.
Kaum Khawarij
Khawarij timbul dari kalangan pasukan Sayyidina Ali
tatkala terjadi perang hebat-hebatnya perang antara Ali dan Mu’awiyah di [13]Shiffin.
Mu’awiyah merasa kewalahan dan bermaksud melarikan diri. Kemudian timbul
pemikiran tahkim. Pasukannya mengangkat al-Qur’an sebagai isyarat agar tahkim
dengan al-Qur’an. Pihak Ali tetap bertempur terus. Lalu ada sebagian pengikut
Ali meminta kepadanya agar mau menerima tahkim. Akhirnya Ali menerima Tahkim
dengan rasa terpaksa. Kemudian diperoleh kesepakatan masing-masing mengangkat
seorang hakim. Mu’awiyah memilih Amr ibn al-Ash. Semula Ali sendiri bermaksud
memilih Abdullah bin Abbas, tetapi orang-orang khawarij ini menghendaki Abu
Musa al-Asy’ari. Tahkim bermaksud dengan berkesudahan turunnya sayyidina Ali
dari khalifah dan tetapnya Mu’awiyah, yang berarti kemenangan baginya.
b.
Kaum Murjiah
Murjiah berasal dari bahasa Arab yang artinya menunda
; atau dari kata yang berarti mengharapkan. Murjiah adalah bentuk isim fail
dari kata tersebut diatas, berarti orang yang menunda atau orang yang
mengharapkan. Dalam arti yang pertama dimaksudkan berarti golongan atau faham
yang menanggungkan keputusan sesuatu hal (mulanya, persoalan orang yang berbuat
dosa besar) nanti kelak di kemudian hari di sisi Allah. Sedang pengertian dalam
arti yang kedua, dimaksud dengan Murjiah ialah golongan yang mengharapkan
ampunan dari Tuhan atas kesalahan dan dosanya (asal persoalannya adalah orang
mukmin yang berbuat dosa besar, mati sebelum ia bertaubat).
c.
Golongan Qadariyah dan Jabariyah
Golongan Qadariyah adalah golongan yang berpendapat
bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kehendaknya ; manusia
mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya ;
manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk
mewujudkan perbuatan –perbuatannya. Pengertian [14]Qadariyah
di sini bukan berasal dari pengertian bahwa manusia itu terpaksa tunduk kepada
qadar Allah. Sebaliknya golongan Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.
Manusia terikat kepada mutlak Tuhan.
d.
Kaum Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham
Qadariyah, yaitu faham yang mengingkari taqdir Allah ; dan menjadikan akal
(rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya.
4.
Menangkap Substansi Ilmu Kalam
Ontologi
atau pokok pembahasan ilmu kalam adalah segala pengetahuan yang berkaitan
dengan penetapan akidah keagamaan secara dekat (langsung) maupun jauh (tidak
langsung). Oleh karena itu dalam ilmu kalam dibahas tentang zat Allah dengan
segala permasalahannya termasuk sifat dan perbuatan Allah baik di dunia seperti
kebaruan alam dan di akhirat seperti ahri kebangkitan serta hukum-uhkum-Nya
seperti pengutusan Rasul, pahala-dosa.
Sementara
aksiologinya atau faedah ilmu kalam adalah meningkatkan keyakinan para
pengkajinya, membimbing pengkajinya dengan argumentasi yang kuat, menjaga
kaidah agama dari kerancuan, menjadi dasar ilmu-ilmu syari’at, dan meluruskan
niat serta keyakinan para pengkajinya.
5.
Pengembangan Praktis-Metodologis Ilmu Kalam
Dua buah
prinsip yang ditawarkan oleh Feyerabend, yakni prinsip pengembangbiakan dan
prinsip apa saja boleh (anything goes) sudah[15]
selayaknya dipergunakan untuk melakukan penelitian dalam wilayah ilmu
kalam. Prinsip pengembangbiakan bukan aturan metodologis melainkan suatu
prinsip bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak dapat dicapai dengan mengikuti
metode atau teori tunggal. Kemajuan ilmu pengetahuan akan dicapai dengan
membiarkan teori-teori yang beraneka ragam dan berbeda satu sama lain
berkembang sendiri-sendiri. Prinsip ini dapat dipergunakan untuk studi-studi
kalam kontemporer sehingga setiap pengkaji dapat secara sadar memaknai
doktrin-doktrin kalam sesuai dengan pengalaman keagamaan dan situasi sosialnya
sendiri. Dengan begitu, maka orang tidak lagi saling mengkafirkan dan merasa
dirinya paling benar. Dengan begitu pula, pluralisme teori ataupun pluralisme
metodologi dalam segala riset ilmu kalam dapat dibenarkan untuk dilakukan.
Berdasarkan
atas prinsip kebebasan ini pula, maka pengembangan ilmu kalam merupakan tugas
yang tidak pernah berakhir. Penelitian untuk pengembangan ilmu kalam harus
dilakukan secara terus-menerus. Sebagai ilmu, ilmu kalam tidak bisa lepas dari
teori Brown yang mengatakan bahwa pengembangan sutau ilmu harus melalui continuing
research. Pandangan Brown ini menjadi dasar bahwa pengembangan ilmu kalam
harus dilakukan terus-menerus dengan mengerahkan segala upaya termasuk
menggunakan disiplin ilmu lain dan keragaman metodenya demi terwujudnya ilmu
kalam yang dinamis dan hidup.
Berdasarkan
atas prinsip kebebasan metodis ini, maka sosiologi pengetahuan bermanfaat bagi
pengayaan metodis penelitian ilmu kalam. Ilmu kalam sudah selayaknya dilihat
dengan berbagai cara (apa saja boleh), asalkan semua cara itu dilakukan dengan
bertanggung jawab dan dapat memperluas perspektif para pengkaji. Hanya dengan
cara memperbanyak perspektif inilah akan terwujud ilmu kalam yang ramah
terhadap segala keragaman dan problematika kehidupan manusia. Di samping itu,
ilmu kalam yang multi perspektif juga akan mudah diterima semua kalangan karena
dinamika dan kelenturannya yang tinngi ketika harus bersentuhan dengan realitas
masyarakat.
E.
Metodologi Tasawuf
1. Pengertian
tasawuf
Tasawuf
adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang [16]atau
bagaimana cara kita mendekatkan diri kepada tuhan, tanpa adanya paksaan yang
dating dari luar maupun dari dalam diri sendiri, sehingga seseorang tersebut
merasa sangat dekat dengan tuhannya, tidak ada hal lain yang lebih berharga
dibandingkan menghambakan diri pada tuhan. seperti halnya kehidupan para
sufi.
Metode
penelitian tasawuf, mempergunakan metode penelitian ilmu-ilmu sosial, terutama
analisis kesejarahan dan pendekatan phenomenology (verstehen). Penelitian yang
menggunakan pendekatan phenomenology atau verstehen harus mengerti dengan
keadaan objek.
2. Tujuan
dan Karakteristik Tasawwuf[17]
Tujuan
tasawuf bukanlah ubntuk mendapatlkan pengetahuan intuitif tentang kenyataan,
tetapi untuk menjadi abdi Allah.
Karakter tasawuf
menurut Al-Tafzani ada lima,
o Peningkatan
moral
o Pemenuhan
fana dalam realistis mutlak
o engetahuan
intuitif langsung
o Timbulnua
rasa kebahagian karena karunia Tuhan
o Penggunaan
simbol-simbol dalam pengungkapan perasaan yang mengandung pengertian harfiah
maupun tersirat
3.
Model-model
Penelitian Tasawwuf
a.
Model Sayyed Husain Nasr
Penelitian kualitatif dengan pendekatan tematik yang
berdasarkan studi kritis terhadap ajaran tasawuf.
b.
Model Mustafa Zahri
Bersifat eksploratif yang menekan pada taswuf
berdasarkan literature yang ditulis oleh para Ulama terdahuludengan mencari
sandaran kepada Al-quran dan Hadits.
c.
Model Kautsar Azhari Noor
Studi tentang tokoh dengan pahamnya yang khas.
d.
Model Harun Nasution
Penelitian menggunakan pendekatan tematik yang
bersifat deskriptif.
e.
Model A.J. Arberry
Penelitian yang menggunakan pendektan kombinasi antara
pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
metodologi artinya suatu ilmu yang
membicarakan cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan atau
menguasai kompetensi tertentu
Quraish Shihab, dalam membumikan
Al-Qur’an, membagi tafsir[18]
dengan melihat corak dan metodenya menjadi; tafsir yang bercorak ma’tsur dan
tafsir yang menggunakan metode penalaran
Takhrij hadits pada dasarnya hanyalah langkah awal dari penelitian hadits.
Di antara langkah-langkah penting berikutnya yang harus dilakukan dalam
kerangka penelitian hadits adalah kritik matan (naqd al-matn) dan kritik sanad.
Metode penelitian tasawuf, mempergunakan metode penelitian ilmu-ilmu
sosial. Tujuan tasawuf bukanlah ubntuk mendapatlkan pengetahuan intuitif
tentang kenyataan, tetapi untuk menjadi abdi Allah.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, ilmu kalam adalah ilmu yang
membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat Tuhan yang mesti ada
pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya, dan sifat yang mungkin ada pada-Nya,
dan membicarakan tentang rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan
mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya dan sifat-sifat yang tidak ada
padanya, serta sifat yang mungkin terdapat padanya.
B.
Saran dan kritik
Sebagai penyusun, kami merasa masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah
ini. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca. Agar kami dapat
memperbaiki makalah yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis,
Metodologi Pendidkan Agama Islam, (Jakarta:Kalam Mulia,2005), h.4
Sanusi
Latief, Pengantar Tafsir, (Jilid II, Padang, 1982). h. 14
Rosniati
Hakim, Metodologi studi Islam II, (padang:Hayfa Press,2009),h.53.
http://jasafa
dilahginting.blogspot.com/2011/01/metodologi-tafsir-al-quran.html
Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2002). h.73
[1]
Tim Penyusun IAIN SA, Pengantar Studi
Islam, IAIN Ampel Press: Surabaya 2009 hal.41
Abuddin,
Nata, Ilmu fikih,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.),h. 53.
Ibid
h. 54
Rosniati, Hakim,
Metodologi Studi Islam II.( Padang: Hayfa Press, 2009).h.78.
Machasin. Epistemologi
Kalam Abad Pertengahan. (Yogyakarta: LkiS.2003)
Muhyar
Fanani, Metode Studi Islam : Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara
Pandang, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), h. 135
Mukhyar
Fanani, Metodologi Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengatahuan sebagai Cara
Pandang, h. 137-138.
Abuddin,Natan
Ilmu Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995)h.15.
Muhamimin, Kawasan
dan Wawasan Studi Islam,(Jakarta: Kencana, 2005.) h.60.
http://jasafa
dilahginting.blogspot.com/2011/01/metodologi-tafsir-al-quran.html
[1]Ramayulis,
Metodologi Pendidkan Agama Islam, (Jakarta:Kalam Mulia,2005), h.4
[2] Sanusi Latief,
Pengantar Tafsir, (Jilid II, Padang, 1982). h. 14
[3] Rosniati Hakim,
Metodologi studi Islam II, (padang:Hayfa Press,2009),h.53.
[6] Abuddin Nata,
Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2002). h.73
[9] Abuddin, Nata, Ilmu
fikih,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.),h. 53.
[10] Ibid h. 54
[13] Muhyar Fanani, Metode
Studi Islam : Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), h. 135.
[14] Ibid, h. 136
[15] Mukhyar Fanani, Metodologi
Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengatahuan sebagai Cara Pandang, h.
137-138.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar